Wednesday, December 16, 2015

Jurnal Biologi

57
VIABILITAS SPERMATOZOA Petaurus breviceps papuanus T.
SPERMATOZOA VIABILITY OF Petaurus breviceps papuanus T
Ni Made Rai Suar ni, I Gusti Ayu Manik Ermayanti
Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Udayana
Kampus Bukit Jimbaran
INTISARI
Telah dilakukan penelitian untuk menentukan viabilitas spermatozoa Petaurus berviceps papuanus T. Pengamatan
dilakukan di bawah mikroskop dengan pewarna trypan blue. Jumlah spermatozoa yang hidup dihitung dari 100
spermatozoa. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, secara in vitro sebanyak 4,75 % spermatozoa dapat hidup
dalam medium DMEM (Dulbecco’s modified Eagle’s medium) dengan suhu 35oC selama 7.5 jam.
Kata kunci : Petaurus berviceps papuanus T., spermatozoa, viabilitas.
ABSTRAK
Experiment to determine the spermatozoa viability of Petaurus berviceps papuanus T. has been performed.
Observation was done under microscope and trypan blue was used as stain. Viable spermatozoa were counted
from a total of 100 spermatozoa. It was found that 4,75 % of the spermazoa could be maintained for 7.5 hours in
the DMEM (Dulbecco’s modified Eagle’s medium) at 35oC.
Keyword : Petaurus berviceps papuanus T., spermazoa, viability.
PENDAHULUAN
Petaurus berviceps W. adalah marsupialia yang termasuk
dalam familia Petauridae. Species ini merupakan species
marsupialia kecil yang memiliki dimorfisme seksual,
dengan hewan jantan lebih besar dari hewan betina
(Tyndale–biscoe & Renfree, 1987). Hewan ini dikenal
sebagai sugar glider karena menyukai makanan yang
manis dan dapat meluncur di udara karena mempunyai
patagium, yaitu suatu membran yang membentang di
setiap sisi tubuh dari kaki depan sampai kaki belakang
(Klettenheimer, 1998).
Saat ini sudah diketahui tujuh subspecies Petaurus
berviceps W dengan penyebaran yang cukup luas. Salah
satu subspeciesnya adalah Petaurus berviceps papuanus T.
yang hidup di Papua New Guniea Utara dan Irian Jaya
(Klettenheimer, 1998).
Sugar glider jantan mempunyai penis yang berada
dekat pangkal ekor dan bercabang, testis berada dalam
sebuah kantung yang menggantung di daerah perut. Di
samping itu, hewan jantan juga mempunyai dua kelenjar
dermal yang berukuran besar yaitu kelenjar frontal yang
terletak di atas tulang frontal diantara mata dan kelenjar
gular yang terletak pada pangkal leher bagian ventral
(Klehenheimer, 1997 dan 1998).
Mate dan Rodger (1996) menyatakan bahwa
spermatozoa brushtail possum dan tammar wallaby yang
termasuk ke dalam marsupialia dapat hidup secara in
Naskah ini diterima tanggal 30 Oktober 2009 disetujui tanggal 4 Desember 2009
vitro selama lebih dari 20 jam dalam medium Eagle
yang mengandung 0.4% Bovine Serum Albumin (BSA)
pada suhu 37oC. Spermatozoa epididimis kauda
kaola (Phascolartos cinerus), brustail possum (Trichosurus
vulvecula, long footed potoroo (Potorous longipes) northern
brown bandicoot (Issodon macrous), common ring tailed
possum (Pseudocheirus peregrimus) berhasil dikriopreservasi
dengan hasil yang terbaik pada campuran Tris-asam
sitrat-fruktosa-kuning telur yang mengandung gliserol
(Taggart et al., 1996).
Pengetahuan viabilitas spermatozoa Petaurus berviceps
papuanus T. sampai saat ini belum dilaporkan. Penelitian
ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari viabilitas
spermatozoa Petaurus berviceps papuanus T.
MATERI DAN METODE
Subyek penelitian yang digunakan adalah Petaurus
berviceps papuanus T. jantan dewasa (Gambar 1A) dengan
berat badan antara 90.5 sampai dengan 91.5 gram.
Epididimis kauda kanan dan kiri diletakkan dalam
cawan yang berisi 2 ml DMEM 35oC, kemudian
dipotong kecil-kecil agar semua sperma keluar, kemudian
jaringan dipisahkan dari suspensi. Suspensi sperma
dibagi menjadi 20 bagian (masing-masing 100 μl),
diletakkan dalam cawan petri (diameter 35 mm). Cawan
petri kemudian diletakkan dalam cawan petri besar yang
sudah berisi tisu basah, selanjutnya diinkubasi dalam
Jurnal Biologi XIII (2) : 57 - 59
Jurnal Biologi Volume XIII No.2 DESEMBER 2009
58
inkubator Blue M pada suhu 35oC.
Sebelum menentukan viabilitas sperma, sperma
dalam cawan petri diamati di bawah mikroskop untuk
memastikan, bahwa sperma masih bergerak sehingga
dapat dinyatakan sperma yang bening adalah sperma
yang hidup dan masih bergerak. Pengamatan terhadap
viabilitas sperma dilakukan dengan selang waktu 30
menit. Untuk menentukan sperma yang hidup dan
mati, digunakan trypan blue. Ciri-ciri sperma yang hidup
adalah bening dan sperma yang mati berwarna hijau.
Ke dalam 100 μl suspensi sperma, ditambahkan 100
μl trypan blue 0.1 %, dibiarkan 1 – 2 menit selanjutnya
suspensi diteteskan pada hemositometer. Viabilitas
sperma ditentukan dengan cara menghitung jumlah
sperma yang hidup dari 100 sperma yang dihitung dan
hasilnya dinyatakan dalam persen. Digunakan 2 hewan
untuk penentuan viabilitas sperma ini.
HASIL
Hasil rata-rata viabilitas sperma epididimis kauda
Petaurus berviceps papuanus T. secara in vitro dalam
medium DMEM dan diinkubasi pada suhu 35oC
yang diamati setiap 30 menit, dapat dilihat pada Tabel
1 dan Gambar 2. Pada awal pengamatan (0 jam),
viabilitas sperma tidak 100%. Viabilitas sperma pada
awal pengamatan adalah 89 ± 4.5%. Tiga puluh menit
kemudian viabilitas menurun rata-rata 13.5%, sehingga
viabilitas sperma pada menit ke-30 adalah 75.5 ±
2.4%. Pada pengamatan berikutnya, dari menit ke-30
sampai menit ke-420, penurunan viabilitas sperma tidak
terlalu berbeda pada tiap pengamatan, tetapi tiga puluh
menit berikutnya terjadi penurunan sebanyak rata-rata
15.5%, sehingga pada menit ke-450 viabilitas sperma
4.75 ± 0.96% dan pada menit ke-465 viabilitas sperma
mencapai 0%.
PEMBAHASAN
Pada awal pengamatan (0 jam pengamatan), viabilitas
sperma Petaurus berviceps papuanus T., adalah 89%. Dari 0
jam pengamatan sampai 30 menit berikutnya viabilitas
sperma menurun cepat yaitu rata-rata 13.5%. Keadaan
ini diduga merupakan periode adaptasi sperma dengan
lingkungannya yang baru, sehingga sperma banyak
yang mati. Pada menit ke-420 sampai menit ke-450,
penurunan viabilitas sperma sangat tinggi yaitu rata-rata
15.5%, hal ini karena semua sperma sudah lemah dan
akhirnya pada menit ke-465 viabilitas sperma mencapai
0%.
Mate dan Rodger (1996) menyatakan, bahwa sperma
brushtail possum dan tammar wallaby dapat dipelihara
secara in vitro dalam waktu yang sangat lama yaitu lebih
dari 20 jam dalam medium Eagle yang mengandung
0.4% Bovine Serum Albumin (BSA) pada suhu 37oC.
Pada penelitian ini, sperma Petaurus berviceps papuanus T.,
dapat bertahan hidup dalam DMEM pada suhu 35oC
selama 7.5 jam. Bila hal di atas dibandingkan, berarti
Gambar 1. Petaurus berviceps papuanus T. jantan dewasa (A) dan
epididimis Petaurus berviceps papuanus T. yang dilepas dari
testis (B).
Kd, epididimis kauda; ko, epididimis korpus; kp, epididimis
kaput; sk, skrotum; t, testis; vd, vasa diferensia; ve, vasa
eferensia.
Tabel 1. Rata-rata viabilitas sperma epididimis kauda Petaurus berviceps
papuanus T. (n = 2) dalam DMEM pada suhu 35oC,
diamati pada 100 sperma.
Waktu pengamatan (menit) Viabilitas sperma (%)
0 89.00 ± 4.50
30 75.50 ± 2.40
60 72.00 ± 7.70
90 67.50 ± 5.40
120 57.25 ± 4.80
150 52.25 ± 4.90
180 51.75 ± 1.50
210 48.50 ± 7.10
240 43.50 ± 0.60
270 37.00 ± 2.20
300 30.25 ± 6.70
330 27.00 ± 1.20
360 21.50 ± 1.30
390 21.25 ± 1.30
420 20.25 ± 0.90
450 4.75 ± 0.96
465 0
Gambar 2. Pola perubahan viabilitas sperma epididimis kauda Petaurus
berviceps papuanus T. dalam DMEM pada suhu 35 C selama
465 menit
59
viabilitas sperma Petaurus berviceps papuanus T. sangat
singkat.
Bovine Serum Albumin (BSA) adalah protein yang
menstabilkan makromolekul di dalam suatu larutan
dalam air. BSA secara luas digunakan dalam medium
kultur sel. BSA juga mengikat substansi yang beracun
dan menstabilkan pH medium. Sifat-sifat BSA ini
menyebabkan BSA sesuai sebagai substansi yang bersifat
melindungi dalam menjaga viabilitas sperma (Harrison
et al., 1995; Hung et al., 2007). BSA juga melindungi
integritas membrane sel sperma dari kondisi lingkungan
seperti keadaan panas dan dapat menghilangkan radikal
bebas yang diakibatkan stress oksidatif (Uysal et al.,
2005; Matsuoka et al. 2006; Uysal dan Bucak, 2007).
Bovine Serum Albumin di samping memiliki
keunggulan, memiliki pula kekurangan. Kekurangan
pertama, BSA berasal dari serum darah bovine, sehingga
dapat membahayakan. Hal ini disebabkan produk-produk
bovine khususnya produk darah berhubungan dengan
kejadian Bovine Spongiphorm Encephalopathy (BSE). Hal
kedua, isolasi dan pemurnian BSA memerlukan biaya
yang mahal dan tidak selamanya menghasilkan produk
dengan kualitas yang baik (Harrison et al., 1995).
Singkatnya periode viabilitas Petaurus berviceps
papuanus yang diamati pada penelitian ini dibandingkan
viabilitas sperma brushtail possum dan tammar wallaby
(Mate dan Rodger, 1996) dapat disebabkan karena
medium maupun suhu yang digunakan dalam penelitian
ini belum tepat. Masih perlu dicari medium dan serum
serta suhu yang tepat untuk penelitian viabilitas sperma
Petaurus berviceps papuanus T.
SIMPULAN
Sperma epididimis kauda Petaurus berviceps papuanus
T. mampu bertahan hidup selama 7.5 jam (450 menit )
dalam DMEM pada suhu 35oC. Viabilitas sperma dalam
medium DMEM menurun dari 89 ± 4.5% pada 0 jam
pengamatan ke 4.75 ± 0.96% pada menit 450. Tidak ada
sperma yang viable pada pengamatan menit 465.
KEPUSTAKAAN
Harrison, R.A.P., H. M. Dott, G. C. Foster. 1995. Bovine serum
albumin, sperm motility, and the dilution effect. Journal of
Experimental Zoology 222 : 81-88
Hung, P. H., J. Baumber, S. A. Meyers, C. A. VandeVoort. 2007.
Effects of environmental tobacco smoke in vitro on rhesus
monkey sperm function. Reproductive Toxicology 23:
499-506
Klettenheimer, B.S., 1997. Father and Son Sugar Glider: More
than a genetic coalition. J. Zool. Lond. 242 : 741-750
Klettenheimer, B.S., 1998. Sugar glider (Petaurus breviceps) Fauna
of Tasmania. An. Profile 5 : 1-3
Matsuoka, T., H. Imai, H. Kohno, Y. Fukui. 2006. Effects of
bovine serum albumine and trehalose in semen diluents for
improvement of frozen-thawed ram spermatozoa. J Reprod
Develop 52: 675-83
Mate, K. E & J. C. Rodger. 1996. Capacitation and Acrosome
reaction in marsupial spermatozoa. Repro. Fertil. Dev.8 :
595-603
Uysal, O., M.N. Bucak. 2007. Effects of Oxidized Glutathione,
Bovine Serum Albumin, Cysteine and Lycopene on the
Quality of Frozen-Thawed Ram Semen. Acta Vet. BRNO
76: 383-390
Uysal O, T. Korkmaz, H. Tosun. 2005. Effect of bovine serum
albumine on freezing of canine semen. Indian Vet J 82:
97-98
Taggart, D.A., V.R. Steels, W.G. Breed, P.D. Temple-smith &
J. Phelan. 1996. Effecct of cooling and Cryopreservation
on sperm motility and morphology of several species of
marsupial. Reprod. Fertil. Dev. 8.; 673-679
Tyndale-Biscoe, H. & M. Renfree. 1987. Reproductive physiology
of marsupials. Cambridge Univ. Press. Sydney. P. 59,
151-171.
Viabilitas Spermatozoa Petaurus breviceps papuanus T. [Ni Made Rai Suarni, I Gusti Ayu Manik Ermayanti]

0 comments:

Post a Comment