Wednesday, December 16, 2015

Jurnal Biologi

41
MORFOLOGI FETUS MENCIT (Mus musculus L.) SETELAH PEMBERIAN
EKSTRAK DAUN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees)
FOETUS MORPHOLOGY OF MICE (Mus musculus L.) AFTER TREATED BY
Andrographis paniculata Nees LEAVES EXTRACT
Iriani Setyawati
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran Bali
Email : iriani_wonggo@yahoo.co.id
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ekstrak daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees) terhadap
morfologi fetus jika diberikan selama periode organogenesis. Tiga puluh mencit betina bunting dibagi secara acak
menjadi 5 kelompok untuk uji efek teratogenik. Ekstrak diberikan secara gavage dengan dosis 0; 0,004 (setara dengan
satu kali dosis manusia); 7,5; 15; and 22,5 g/g berat badan/ hari. Perlakuan diberikan pada hari kebuntingan ke 6
hingga 13 (periode organogenesis). Fetus dikeluarkan secara caesar pada hari ke 18. Data kuantitatif dianalisa dengan
Anova dilanjutkan uji DMRT. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan efek teratogenik seiring peningkatan dosis
perlakuan dengan menyebabkan kematian dan resorbsi fetus, hemoragi, dan kaki bengkok.
Kata kunci : Andrographis paniculata Nees, morfologi fetus.
ABSTRACT
This experiment was performed to examine the effects of Andrographis paniculata Nees leaves extract on foetus
morphology if given during organogenesis period. Thirty pregnant mice were randomly divided into 5 groups for
teratogenic effects. Extract was given orally by gavage with 0 (as control); 0,004 (equal to one time dose to human);
7,5; 15; and 22,5 g/g body weight/ day. Treatment was given from day 6 to day 13 of gestation (organogenesis
period). Foetus were removed on day 18 of gestation by caesarean section. Quantitative data were analyzed with
Anova and Duncan’s Multiple Range Test. The results showed that teratogenic effects increased in dose-related
manner by causing foetus death and resorption, hemorrhage and clubfoot.
Keywords : Andrographis paniculata Nees, foetus morphology.
Naskah ini diterima tanggal 12 Agustus 2009 disetujui tanggal 16 Oktober 2009
PENDAHULUAN
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees), famili
Acanthaceae, adalah salah satu tanaman obat yang
cukup berpotensi untuk dikembangkan. Kandungan
kimia yaitu andrografolid, neo-andrografolid, panikulin,
mineral (kalium, kalsium, natrium), asam kersik, dan
damar. Zat aktif (berkhasiat obat) ialah andrografolid
yang rasanya sangat pahit. Kadar andrografolid 2,5-4,6
% dari bobot kering. Kadar kalium juga relatif cukup
tinggi (Santa, 1996).
Sudah banyak dilakukan uji khasiat sambiloto
pada hewan, sebagian menggunakan darah manusia
yang diuji secara in vitro. Khasiat sambiloto antara
lain sebagai analgetika, antipiretika, antiinflamasi,
antispermatogenik dan antidiabetes. Sambiloto juga
dapat menurunkan kontraksi usus, menambah nafsu
makan, menurunkan tekanan darah, melindungi
kerusakan hati dan jantung yang bersifat reversibel, dan
memiliki aktifitas imunodulator (Nuratmi dkk., 1996).
Ekstrak sambiloto terbukti sebagai obat herbal
anti malaria alternatif yang efektif. Ekstrak tanaman
Andrographis paniculata dan Hedyotis corymbosa dapat
menghambat stadium cincin pada parasit Plasmodium
falciparum dan tidak menunjukkan toksisitas in
vivo, dalam penggunaan isolasi tersendiri maupun
dikombinasikan (Mishra et al, 2009). Penggunaan
yang luas dalam masyarakat karena multikhasiat dan
mudah diperoleh ini menimbulkan kekhawatiran apakah
sambiloto cukup aman terhadap fetus jika dikonsumsi
oleh ibu hamil.
Zoha et al. (1989) melaporkan adanya efek antifertilitas
Andrographis paniculata Nees terhadap mencit betina.
Penelitian dari Beijing Medical College Physiology
Department (Anonim 1978; dalam Panossian et al.
1999) juga melaporkan efek nyata terhadap berakhirnya
Jurnal Biologi XIII (2) : 41 - 44
Jurnal Biologi Volume XIII No.2 DESEMBER 2009
42
kehamilan pada mencit pada saat implantasi, awal,
pertengahan, maupun pada stadium akhir kehamilan.
Sambiloto mungkin memiliki efek berlawanan terhadap
progesteron endogen sehingga menyebabkan aborsi.
Penelitian Chang & But (1986; dalam Panossian et al.
1999) secara in vivo terhadap mencit dan kelinci bunting
juga menunjukkan kemungkinan adanya aktifitas
aborsi.
Penelitian Hancke (1997; dalam Panossian et al.
1999) menyatakan hal yang berlawanan yaitu tidak
adanya gangguan pada kehamilan, induksi resorpsi
fetus, atau perubahan jumlah keturunan yang hidup
dengan pemberian ekstrak kurang dari 2000 mg/kg berat
badan selama 9 hari awal kehamilan tikus galur SD
bunting. Hal ini didukung oleh Panossian et al. (1999)
yang melaporkan tidak ada efek apapun terhadap level
progesteron dalam kehamilan sehingga sambiloto tidak
dapat menginduksi aborsi. Namun sejauh ini belum
diketahui efek sambiloto terhadap fetus, karena itu perlu
dilakukan uji tingkat keamanan dan ada tidaknya efek
teratogenik sambiloto terhadap bentuk, struktur, dan
perkembangan fetus.
MATERI DAN METODE
Pembuatan ekstrak daun sambiloto dilakukan dengan
mencuci bersih daun dan dikering-anginkan, setelah
kering kemudian digiling dan disaring dengan ayakan
berukuran 15-20 mesh. Ekstraksi serbuk sebanyak 500 g
dengan etanol 70% 1500 cc dilakukan dengan maserasi
selama 24 jam. Filtrasi menggunakan corong Buchner
menghasilkan filtrat dan residu. Filtrat dimasukkan
ke dalam Rotary Evaporator (40-500C, tekanan 1 atm).
Ekstrak yang dihasilkan (43,08 g) kemudian diencerkan
dalam aqua bidest hingga 86,16 ml.
Tiga puluh ekor mencit bunting dikelompokkan acak
menjadi 5 kelompok. Dosis ekstrak yaitu 0 (kontrol);
0,004 (1 x dosis manusia); 7,5; 15; dan 22,5 g/g bb/
hari, dicekokkan secara oral (gavage) sebanyak 0,2 ml/
ekor/ hari dengan spuit injeksi berkanul volume 1 ml.
Perlakuan diberikan selama masa organogenesis yaitu
hari ke-6 sampai 13 kebuntingan dan bedah caesar
hari ke-18 untuk pemeriksaan fetus. Analisis hasil
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
5 perlakuan dan 6 ulangan. Data kuantitatif berupa
jumlah fetus hidup, fetus mati, fetus resorpsi, berat dan
panjang fetus, frekuensi cacat morfologi dan skeleton
fetus diuji normalitas dan homogenitasnya terlebih
dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Anova dan uji
DMRT (Duncan’s Multiple Range Test).
HASIL
Jumlah Fetus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan
dosis ekstrak daun sambiloto cenderung diikuti dengan
menurunnya jumlah fetus hidup, namun pengaruh yang
signifikan (p < 0,05) baru mulai dosis perlakuan 15 g/g
bb/hari. Fetus mengalami resorbsi pada pemberian dosis
7,5; 15 dan 22,5 g/g bb/hari. Rerata jumlah fetus yang
mengalami resorbsi meningkat dengan meningkatnya
dosis ekstrak yang diberikan (Tabel 1). Morfologi fetus
normal, fetus kerdil dan fetus yang mengalami resorpsi
ditampilkan pada Gambar 1.
Tabel 1. Rerata jumlah fetus hidup, fetus mati, dan fetus resorpsi.
Dosis
(g/g bb/
hari)
Jumlah
Induk
(ekor)
Rerata Jumlah (ekor)
Fetus Hidup Fetus Mati Fetus Resorpsi
Kontrol
0,004
7,5
15
22,5
66666
11,67 ± 1,633 a
10,67 ± 0,817 a
10,50 ± 1,049 a
8,67 ± 1,211 b
9,93 ± 1,780 b
0 a
0 a
0,167 ± 0,408 ab
0,667 ± 1,033 b
0 a
0 a
0 a
0,330 ± 0,817 ab
0,167 ± 0,408 a
1,333 ± 1,751 b
Huruf berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan signifikan (p < 0,05)
Gambar 1. Morfologi fetus mencit (a). Fetus normal, (b). Fetus kerdil dari
kelompok dosis 22,5 g/g bb/hari, (c). Fetus resorbsi dari dosis
22,5 g/g bb/hari
Berat dan Panjang Fetus
Rerata berat fetus cenderung menurun dengan
meningkatnya dosis. Rerata berat di bawah normal
tampak pada dosis 15 dan 22,5 g/g bb/hari (Tabel 2).
Morfologi fetus dengan kelainan berat dan panjang juga
dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 2. Rerata berat dan panjang fetus.
Dosis
(g/g bb/
hari)
Jumlah
Induk
(ekor)
Jumlah Fetus
Hidup (ekor)
Rerata Berat
Fetus (g)
Rerata Panjang
Fetus (cm)
Kontrol
0,004
7,5
15
22,5
66666
70
64
63
52
49
1,602 ± 0,146 a
1,452 ± 0,106 ab
1,423 ± 0.103 b
1,197 ± 0,153 c
1,120 ± 0,176 c
3,090 ± 0,613 a
2,167 ± 0,482 b
2,403 ± 0,151 b
2,105 ± 0,284 b
1,903 ± 0,439 b
Huruf berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan signifikan (p < 0,05)
Kelainan Morfologi
Kelainan morfologi berupa hemoragi paling banyak
ditemukan pada dosis 22,5 g/g bb/hari. Analisis Anova
menunjukkan hemoragi cenderung meningkat seiring
peningkatan dosis (Tabel 3). Pengaruh nyata terlihat
antara kontrol dengan dosis 22,5 g/g bb/hari. Morfologi
fetus dengan hemoragi pada bagian tubuh di beberapa
lokasi ditampilkan pada Gambar 2.
43
Gambar 2. Morfologi fetus hemoragi. Tanda panah menunjukkan daerah
hemoragi (a). Fetus normal kelompok kontrol, (b). Fetus
hemoragi dosis 22,5 g/g bb/hari.
Tabel 3. Frekuensi jumlah fetus dengan kelainan morfologi.
Dosis
(g/g bb/
hari)
Jumlah
Induk
(ekor)
Jumlah
fetus
(ekor)
Fetus
Hemoragi
(ekor)
Frekuensi
Hemoragi
(%)
Fetus
cacat
kaki
depan
(ekor)
Frekuensi
cacat
kaki
depan
(%)
Fetus
cacat
kaki belakang
(ekor)
Frekuensi
cacat
kaki bela
kang
(%)
Kontrol
0,004
7,5
15
22,5
66666
70
64
63
52
49
01048
0 a
1,56 ab
0 a
7,69 ab
16,33 b
01265
0 a
1,56 ab
3,18 abc
11,54 c
10,2 bc
01012
0 a
1,56 a
0 a
1,92 a
4,08 a
Huruf berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan signifikan (p < 0,05)
Cacat anggota badan yang ditemukan adalah kaki
depan dan atau belakang bengkok. Frekuensi cacat
kaki cenderung meningkat dengan bertambahnya dosis.
Uji Anova dan DMRT menunjukkan beda nyata pada
cacat kaki belakang antara kontrol dengan dosis 15 g/g
bb/hari (Tabel 3). Pada cacat kaki depan tidak terlihat
pengaruh perlakuan terhadap terjadinya kecacatan.
Morfologi fetus dengan kaki bengkok disajikan pada
Gambar 3.
Gambar 3. Fetus dengan kaki bengkok (a). Fetus normal kelompok
kontrol, (b). Fetus cacat kaki bengkok dosis 15 g/g bb/hari,
(c). Fotomikroskopi kaki bengkok
PEMBAHASAN
Jumlah fetus hidup menurun dengan meningkatnya
dosis ekstrak yang diberikan. Kematian fetus tidak terjadi
pada setiap induk karena kemampuan yang berbeda
dari masing-masing induk dalam memetabolisir ekstrak
daun sambiloto. Diduga fetus yang mati sejak dalam
kandungan belum selesai mengalami perkembangan
sehingga memiliki ukuran lebih kecil dibanding fetus
yang lahir dalam keadaan hidup.
Infus daun sambiloto termasuk zat yang cukup aman
(Practically Non Toxic) menurut kriteria Gleason dalam
Nuratmi dkk., (1996). Namun apabila dikonsumsi
induk dalam jumlah besar yang melebihi konsumsi
yang sewajarnya akan dapat memunculkan efek
embriotoksik. Efek embriotoksik suatu zat dapat muncul
jika terakumulasi pada embrio yang secara genetik peka.
Resorbsi fetus merupakan salah satu indikasi agen yang
bersifat teratogenik (Harbinson, 1980). Semakin tinggi
tingkat dosis pada kisaran dosis embriotoksik, akan
mengakibatkan terjadinya respon yang tingkatannya
lebih tinggi, berkisar dari hambatan pertumbuhan,
malformasi, sampai kematian intrauterin, dan resorbsi
(Wilson, 1973).
Berat badan adalah parameter penting untuk
mengetahui pengaruh senyawa asing terhadap fetus,
ditunjukkan dengan penurunan berat fetus. Laju
pertumbuhan dan perkembangan fetus menentukan
variasi ukuran anakan. Rerata berat anakan mencit
normal pada umur kehamilan hari ke-18 adalah 1,4
gram (Wilson dan Warkany, 1965).
Rerata panjang fetus berbeda nyata antara kontrol
dengan perlakuan sementara antar dosis perlakuan
tidak berbeda nyata. Penurunan berat dan panjang
tubuh adalah bentuk teringan efek agensia teratogenik
dan merupakan parameter yang sensitif. Gangguan
perkembangan individu dalam uterus menyebabkan
kelainan antara lain kelahiran dengan berat badan tidak
normal. Berkurangnya berat dan panjang fetus adalah
indikasi adanya hambatan pertumbuhan fetus. Hambatan
pertumbuhan terjadi bila agen mempengaruhi proliferasi
sel, interaksi sel, dan pengurangan laju biosintesis
berkaitan dengan hambatan sintesis asam nukleat,
protein, atau mukopolisakarida (Wilson, 1973).
Individu yang mengalami malformasi (kecacatan)
umumnya lebih kecil dibandingkan individu normal. Oleh
karena itu sebelum menyatakan adanya abnormalitas
pada suatu individu maka berat hewan yang diperlakukan
harus dibandingkan dulu dengan kontrol untuk
memastikan bahwa hambatan pertumbuhan suatu organ
merefleksikan hambatan pertumbuhan secara umum.
Beberapa agen teratogen juga dapat mengakibatkan
kelainan visceral maupun skeletal tanpa menunjukkan
adanya kelainan morfologi eksternal (Santoso, 2006).
Kelainan morfologi yang paling banyak ditemukan
adalah hemoragi. Hemoragi yaitu keluarnya darah
dari sistem kardiovaskuler, disertai penimbunan dalam
ruangan atau jaringan tubuh (Price & Wilson, 1984).
Kemungkinan ini terjadi karena ekstrak sambiloto
diberikan berulangkali pada dosis cukup tinggi
hingga konsentrasinya tinggi dalam darah dan terjadi
ketidakseimbangan osmotik. Pada keadaan normal
embrio berkembang dalam cairan amnion yang isotonis
dengan cairan tubuh. Zat asing dalam jaringan dapat
mengubah tekanan osmosis. Ketidakseimbangan
osmotik dapat disebabkan gangguan tekanan dan
viskositas cairan pada bagian embrio yang berbeda,
Morfologi Fetus Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) [Iriani Setyawati]
Jurnal Biologi Volume XIII No.2 DESEMBER 2009
44
antara plasma darah dan ruang ekstra-kapiler atau
antara cairan ekstra dan intra embrionik. Perbedaan
ini menyebabkan pembuluh darah pecah dan terjadi
hemoragi (Wilson, 1973).
Morfologi kaki yang bengkok cenderung lebih
pendek dengan telapak kaki menekuk ke dalam, akibat
terjadinya perbedaan derajat penulangan pada kaki
yang bengkok. Pada kaki yang mengalami kelainan
terjadi kalsifikasi berlebihan dan ukuran masing-masing
komponen skeleton juga lebih pendek. Diduga terjadi
kalsifikasi dini skeleton anggota. Belum dapat dijelaskan
penyebab cacat hanya pada satu kaki belakang atau
depan saja atau keduanya, juga pemendekan skeleton
yang diikuti pembengkokan kaki.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa ekstrak daun sambiloto yang diberikan pada
induk selama masa organogenesis menyebabkan
kelainan morfologi fetus berupa kerdil, hemoragi, dan
cacat kaki bengkok.
KEPUSTAKAAN
Harbinson, R.D. 1980. Teratogens, in Cassaret, J.L., and Doull,
S.J., Toxicology the Basic of Poison, 2nd ed., Mac Millan
Publishing Co.Inc., New York, p.158-175.
Mishra K., A.P. Dash, B.K. Swain and N. Dey. 2009. Anti-
Malarial Activities of Andrographis paniculata and Hedyotis
corymbosa Extracts and Their Combination with Curcumin.
Malaria Journal 8:1-9.
Nuratmi, B., Adjirni, D.L. Paramita. 1996. Beberapa Penelitian
Farmakologi Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees).
Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3: 1-24
Panossian, A., A. Kochikian, E. Gabrielian, R. Muradian, H.
Stepanian, F. Arsenian, H. Wagner. 1999. Effect of Andrographis
paniculata Extract on Progesterone in Blood Plasma
of Pregnant Rats. Phytomedicine 6: 157-164.
Price, S.A., and L.M. Wilson. 1984. Patofisiologi, CV EGC,
Jakarta, hal.468.
Santa, I.G.P. 1996. Studi Taksonomi Sambiloto Andrographis paniculata
Nees. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3: 14-15.
Santoso, H.B. 2006. Pengaruh Kafein terhadap Penampilan
Reproduksi dan Perkembangan Skeleton Fetus Mencit (Mus
musculus L). Jurnal Biologi X: 39-48.
Wilson, J.G. 1973. Environment and Birth Defects, Academic
Press, New York, pp.6-8.
Wilson, J.G. and J. Warkany. 1965. Teratology - Principles and
Techniques, University of Chicago Press, Chicago and
London, pp.16-18.
Zoha, M.S., A.H. Hussain & S.A. Choudhury. 1989. Antifertility
Effect of Andrographis paniculata in Mice. Bangladesh Medical
Research Council Bulletin 15: 34-37.

0 comments:

Post a Comment