This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Friday, December 18, 2015

Makalah Manfaat Bioteknologi



FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2013





BAB I

PENDAHULUAN

I.     Latar Belakang

          Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri,fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa.  Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi,  genetika,  kimia,  matematika dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.

            Bioteknologi secara sederhana sudah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sebagai contoh, di bidang teknologi pangan adalah pembuatan bir, roti, maupun keju yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas baru di bidangpertanian, serta pemuliaan dan reproduksi hewan. Di bidang medis, penerapan bioteknologi di masa lalu dibuktikan antara lain dengan penemuan vaksin, antibiotik, dan insulin walaupun masih dalam jumlah yang terbatas akibat proses fermentasi yang tidak sempurna. Perubahan signifikan terjadi setelah penemuan bioreaktor oleh Louis Pasteur. Dengan alat ini, produksi antibiotik maupun vaksin dapat dilakukan secara massal.

        Pada masa ini, bioteknologi berkembang sangat pesat, terutama di negara negara maju. Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai macam teknologi semisal rekayasa genetika, kultur jaringan, DNA rekombinan, pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lain-lain. Teknologi ini memungkinkan kita untuk memperoleh penyembuhan penyakit-penyakit genetik maupun kronis yang belum dapat disembuhkan, seperti kanker ataupun AIDS. Penelitian di bidang pengembangan sel induk juga memungkinkan para penderita stroke ataupun penyakit lain yang mengakibatkan kehilangan atau kerusakan pada jaringan tubuh dapat sembuh seperti sediakala. Di bidang pangan, dengan menggunakan teknologi rekayasa genetika, kultur jaringan dan DNA rekombinan, dapat dihasilkan tanaman dengan sifat dan produk unggul karena mengandung zat gizi yang lebih jika dibandingkan tanaman biasa, serta juga lebih tahan terhadap hama maupun tekanan lingkungan.Penerapan bioteknologi di masa ini juga dapat dijumpai pada pelestarian lingkungan hidup daripolusi. Sebagai contoh, pada penguraian minyak bumi yang tertumpah ke laut oleh bakteri, dan penguraian zat-zat yang bersifat toksik (racun) di sungai atau laut dengan menggunakan bakteri jenis baru.

         Kemajuan di bidang bioteknologi tak lepas dari berbagai kontroversi yang melingkupi perkembangan teknologinya. Sebagai contoh,  teknologi kloning dan rekayasa genetika terhadap tanaman pangan mendapat kecaman dari bermacam-macam golongan. Bioteknologi secara umum berarti meningkatkan kualitas suatu organisme melalui aplikasi teknologi. Aplikasi teknologi tersebut dapat memodifikasi fungsi biologis suatu organisme dengan menambahkan gen dari organisme lain atau merekayasa gen pada organisme tersebut.

      Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai macam teknologi semisal rekayasa genetika, kultur jaringan, rekombinan DNA, pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lain-lain. Teknologi ini memungkinkan kita untuk memperoleh penyembuhan penyakit-penyakit genetik maupun kronis yang belum dapat disembuhkan, seperti kanker ataupun AIDS. Mengetahui perkembangan bioteknologi merupakan hal yang sangat menarik untuk di bahas dan di ketahui terlebih bila kita dapat mengembangkan suatu bioteknologi dan dapat bermanfaat bagi mahluk lain.

II.     Rumusan Masalah

1. Bagaimana Bioteknologi Dalam Bidang Kesehatan ?
2. Bagaimana Bioteknologi Terapetik Dalam Kesehatan ?
3. Bagaimana Keamanan Bioteknologi Dalam BIdang Kesehatan ?





BAB II

PEMBAHASAN

I.     Bioteknologi Kesehatan

       Bioteknologi memiliki manfaat yang cukup besar di bidang kesehatan antara lain dengan ditemukannya antibiotic dan vaksin.Antibiotik penisilin yang dihasilkan oleh jamur Penicillium notatum telah ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1929. Adapun pada tahun 1939 oleh Rene Dubois mengisolasi dua antibiotic gramisidin dan tirosidin modern yang pertama dan tergolong luas penggunaannya. Penisilin dihasilkan selama pertumbuhan dan metabolism cendawan tertentu, yaitu Penicillium notatum danPenicillium Chrysogenum. Senyawa antibiotic yang dihasilkan jamur ini sangat efektif terhadap bekteri gram positif, khususnya pneumokokus dan beberapa stafilokokus. Beberapa bakteri gram negative,spiroketa yang merupakanpenyebab sifilis.

      Setelah antibiotic penisilin ditemukan, banyak penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman yang dapat disembuhkan.Namun, beberapa jenis bakteri lain menghasilkan enzim yang dapat menghambat kerja penisilin sehingga tahan terhadap penisilin.Akibatnya, beberapa penyakit yang disebabkan oleh bakteri tersebut tidak dapat sembuh. Kerena itu, para ahli berusaha menemukan obat lain pembasmi bakteri yang kebal terhadap penisilin. Jenis antibiotic lain yang dihasilkan oleh jamur/cendawan, antara lain : sefalosporin dan streptomisin.

     Sefalosporin merupakan sekelompok antibiotic yang dihasilkan oleh suatu spesies cendawan laut, Cephalosporium Acremonium. Antibiotik ini aktif tehadap banyak bakteri gram positif dan negative serta tidak dapat dirusak oleh penisilinase. Yaitu enzim yang terdapat dalam bakteri yang mampu merusak penisilin. Streptomisin dihasilkan oleh Streptomyces Griseus, yaitu bakteri tanah yang diisolasikan oleh Walksman dan teman-temannya. Antibiotikini efektif terhadap banyak bakteri gram positif dan gram negative yang pathogen dan Mycobacterium Tuberculosis. Oleh karena itu, Streptomisin menjadi antibiotic untama untuk penderita TBC seebagai komoterapI. Akan tetapi, beberapa bakteri dapat dengan cepat menjadi resistan dan meningkat toksisitasnya jika penggunaan antibiotic berlangsung dalam waktu lama. Meskipun demikian, streptomisin tetap dianggap sebagai obat utama dalam penggobatan tuberculosis.

Bioteknologi di bidang kesehatan dewasa ini difokuskan untuk penemuan obat-obatan dalam hal-hal seperti tersebut di bawah ini:

1. Memerangi penyakit jantung dan saluran darah, kanker dan kencing manis.
2. Mendapatkan antibiotika yang lebih baik dan lebih murah untuk melawan penyebaran mikroorganisme menular yang resisten
3. Menemukan vaksin untuk melawan virus (hepatitis, influenza, rabies) dan penyakit malaria serta penyakit tidur.
4. Dapat melakukan uji diagnosis yang cepat dan tepat untuk membantu dokter dalam menentukan diagnosis berbagai penyakit.
5. Penyempurnaan metode pencangkokan organ yang sesuai agar tidak terjadi proses penolakan.
6. Penyempurnaan teknik perbaikan kimia tubuh untuk menyembuhkan penyakit keturunan, misalnya hemofili.

      Sebelum rekayasa genetika dikembangkan untuk memerangi diabetes dilakukan ekstraksi insulin dari pankreas babi atau lembu. Hal ini akan memakan banyak sekali biaya dan insulin yang dihasilkan dapat mengakibatkan hipersensitivitas maupun resistensi. Setelah teknik rekayasa genetika dikembangkan, maka sekarang telah dapat dibuat insulin manusia oleh bakteri. Ini dilakukan dengan jalan menyematkan gen pengkode pembentukan insulin manusia pada bakteri.

         Untuk membuat insulin, mula-mula membuat rancangan urutan ADN yang mengode asam amino insulin yang telah diketahui. Kemudian diikuti dengan sintesis kimiawi gen rantai A dan gen rantai B insulin, tetapi pembuatannya dilakukan secara terpisah. Masing-masing mengandung kodon metionin pada ujung 5’ (yang tentunya menjadi ujung amino protein yang ditranslasikan) dan menghentikan urutan pada ujung 3’. Masing-masing gen disisipkan ke dalam gen β-galaktosidase plasmid. Kemudian dimasukkan ke dalam E. coli. E. colidibiakkan dalam medium yang mengandung galaktosa sebagai sumber C dan sumber energi dan bukan glukosa. Sebab itu bakteri akan mensintesis β-galaktosidase. Bersamaan dengan ini disintesis pula rantai A dan rantai B insulin, yang dilekatkan oleh sisa metionin. Setelah pelarutan bakteri, maka perlakuan dengan sianogen bromida akan memecah protein pada metionin. Dengan demikian rantai insulin akan terpisah dari β-galaktosidase. Rantai-rantai dimurnikan dan digabungkan, maka terjadilah insulin asli manusia.

      Saat ini sedang dikembangkan pendekatan sintetik lain, gen untuk molekul pemula insulin atau proinsulin disintesis dan disisipkan ke dalam E. coli. Proinsulin yang dihasilkan dimurnikan. Proinsulin dicerna dengan enzim tripsin dan karboksipeptidase, maka terjadilah insulin manusia .



II.     Bioteknologi Teraupetik

             Penerapan bioteknologi konvensional dan modern di bidang kesehatan telah membawa kemajuan yang pesat. Beberapa contoh penerapan bioteknologi taraupetik modern di bidang kesehatan antara lain sebagai berikut.

1.     Pembuatan Hormon Insulin

Pembuatan hormon insulin dilakukan dengan rekayasa genetika. Melalui rakayasa genetika, manusia berhasil menyisipi bakteri Escherichia coli dengan gen pembentuk insulin pada manusia. Gen penghasil insulin manusia tersebut dapat mengarahkan sel E.coli untuk menghasilkan insulin. Dengan demikian bakteri ini mampu membentuk insulin yang mirip dengan insulin manusia. Insulin yang diperoleh dapat digunakan untuk mengobati penderita diabetes. Insulin yang dibentuk bakteri ini terbukti lebih baik daripada insulin hewani dan tidak menimbulkan dampak negatif pada tubuh manusia.

2.     Antibodi Monoklonal

       Antibodi merupakan protein yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh yang berfungsi melawan dan melindungi tubuh dari infeksi bakteri. Melalui rekayasa genetika, manusia dapat membentuk antibodi monoklonal. Antibodi monoklonal yaitu antibodi yang diperoleh dari penggabungan sel penghasil antibodi dengan sel yang terkena penyakit. Pada teknologi antibodi monoklonal digunakan sel-sel tumor dan sel-sel limpa manusia. Sel-sel tumor dapat memperbanyak diri tanpa henti, sedangkan sel limpa sebagai antigen yang menghasilkan antibodi. Hasil penggabungan kedua sel tersebut dinamakan sel hibridoma. Sel hibridoma dapat memproduksi antibodi secara kontinyu. Antibodi yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengobati penyakit kanker atau tumor. Antibodi ini akan menyerang sel-sel kanker tanpa merusak sel-sel yang seh

3.    Interferon

       Interferon merupakan sel-sel tubuh yang mampu menghasilkan senyawa kimia. Senyawa kimia tersebut dapat membunuh virus. Interferon berguna untuk melawan infeksi dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Produksi interferon dilakukan melalui rekayasa genetika.

4.    Pembuatan Vaksin

     Pembuatan vaksin dilakukan melalui rekayasa genetika. Vaksin dibuat dengan mengisolasi gen yang mengkode antigen dari mikrobia yang bersangkutan. Gen tersebut disisipkan pada plasmid yang sama tetapi telah dilemahkan. Mikrobia yang telah disisipi gen tersebut akan membentuk antigen murni. Jika antigen ini disuntikkan pada tubuh manusia, sistem kekebalan tubuh akan membentuk antibodi yang berfungsi melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh. Selain bioteknologi modern, ada juga produk bioteknologi konvensional di bidang kesehatan yaitu antibiotik.

       Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme terutama bakteri dan jamur yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri atau mikroorganisme yang lain. Dengan demikian, antibiotik digunakan untuk melawan infeksi bakteri atau jamur. Selain itu, ada juga vaksin yang dibuat dengan menerapkan bioteknologi konvensional. Pembuatan vaksin jenis ini tidak melalui rekayasa genetika. Vaksin ini berasal dari mikroorganisme yang telah dilemahkan. Vaksin dimasukkan ke dalam tubuh manusia dengan suntikan atau oral. Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh manusia aktif melawan mikroorganisme tersebut.



III.    Keamanan Bioteknologi

     Bekerja dengan bioteknologi berati bekerja dengan mikroorganisme  baik alamiah maupun yang mengalami mutasi atau rekombinasi. Mungkin semua orang mengetahui dengan pasti sifat organisme yang digunakan, yang mungkin kurang mengenalnya, terutama hasil mutasi atau manipulasi genetik. Oleh sebab itu perlu adanya keamanan pada saat penelitian maupun terhadap produk yang dihasilkan. Beberapa hal yang dapat menimbulkan rasa aman tersebut antara lain adalah digunakannya prosedur standar labotarium (Good Laboratary practice), terdapat regulasi untuk penggunaan mikroorganisme tertentu maupun standar produk yang dihasilkan terutama yang diperuntukkan untuk pangan dan kesehatan manisia. Standar keamanan dan regulasi tersebut sudah ada dan diterapkan dengan ketat pada beberapa negara.

       Keamanan dari suatu produk bioteknologi sangat berkaitan dengan kualitas dari produk yang dihasilkan. Masing-masing produk bioteknologi baik itu dibidang farmasi, pertanian, pangan dan kimia mempunyai kekurangan dan berbahaya bila peraturan penggunaan yang tidak baik. Misalnya produk bioteknologi dibidang pangan yang menggunakan teknik bantuan mikroba dalam membantu proses pembuatan produk, seperti yoghurt, sosis, wine dan lain sebagainya. Proses pembuatan produk memerlukan terapan sanitasi dan pemilihan mikroba yang baik sesuai kebutuhan, karena dengan tidak adanya penerapan sistem tersebut tidak akan menghasilkan suatu produk yang baik untuk dikonsumsi melainkan membawa penyakit terhadap manusia.

     Setiap produk yang menggunakan bantuan mikroba atau stater dalam proses pembuatannya, perlu diperhatikan tingkat keasaman atau pH produk. Setiap mikroorganisme memiliki tingkat pH, Aw dan suhu untuk tetap hidup serta nutrisi. Mikroba patogen merupakan musuh terbesar dari suatu produk pangan, mikroba ini dapat mengakibatkan produk membusuk dan membawa penyakit serta membuat ketahanan (shelf live) produk menurun. Untuk mengatasi terjadinya kontaminan mikroba patogen perlu dilakukan tahap penyimpanan yang baik, baik itu suhu dan Kadar Aw produk.

       Sistem ketahanan produk pangan sangat tergantung jenis kemasan (packing) yang digunakan. Fungsi dari kemasan adalah menjaga produk tetap bersih dan melindungi dari terjadi kontaminan, sehingga produk bisa tahan lebih lama. Setiap produk berbeda bahan baku yang dipakai untuk kemasan, baik kemasan plastik, gelas dan kaleng (logam). Untuk menjaga keamanan suatu produk, diberi label yang berfungsi sebagai informasi kepada konsumen. Didalam label terdapat beberapa unsur yaitu:

a. Nama produk
b. Label halal
c. Komposisi
d. Kodebar
e. Kadarluarsa
f. Dinas kesehatan dan BPOM
g. SNI produk 

        Peraturan pemerintah tentang kelayakan suatu produk dipasarkan dapat menjamin keamanan dan ketahanan produk. Banyak produk bioteknologi yang memasuki pasaran menggantikan produk sebelumnya, seperti pada produk obat, diagnosa dan pertanian. Perubahan yang sangat besar memungkinkan akan terjadi pada bidang diagnosa, suatu saat akan banyak penyakit yang dapat didiagnosa dini menggunakan kit diagnosa dan dapat dilakukan sendiri. Pada bidang lain, bioteknologi akan meningkatkan produksi pertanian dengan baik dan kemungkinan akan mengurangi tenaga kerja.

      Cukup banyak riset yang bisa membawa dampak kurang menguntungkan bagi manusia. Apakah riset dilakukan terhadap mikroorganisme lain, apalagi yang berkaitan dengan manusia. Untk menjaga kemungkinan penyalah gunaan riset ini, perlu adanya suatu regulasi dan etika menyangkut penelitian bioteknologi yang dikenal sebagai bioetika. Bioetika merupakan studi interdisiplineer tentang masalah yang ditimbilkan oleh penelitian biologi dan kedokeran baik pada skala mikro maupun makro serta dampaknya pada masyarakat luas dan sistem tata nilainya saat ini dan masa datang.oleh karena itu bioetika sangat perlu diterapkan dan penerapannya memerlukan kajian yang tuntas dari segala disiplin ilmu.



BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan makalah ini dan literature yang didapatkan maka dapat kami menarik sebuah garis-garis besar tentang peranan bioteknologi dalam kehidupan manusia sebagai berikut.

        Bioteknologi dapat diartikan sebagai pemanfaatan prinsip-prinsip ilmiah dan teknologi dengan  menggunakan makhluk hidup sebagai alat bantu untuk menghasilkan produk atau jasa guna kepentingan manusia. Bioteknologi bukanlah suatu disiplin ilmu melainkan penerapan ilmu (suatu teknik dalam biologi).
        Pemanfaatan bioteknologi meliputi bioteknologi dalam kesehatan, pertanian, peternakan dan pangan.

    

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, http://majidsyahreza89.wordpress.com/2012/01/16/bioteknologi-dalam-bidang-kesehatan/. Bioteknologi dalam bidang kesehatan. Diakses pada hari kamis, tanggal 28 Maret 2013.

Anonim, http://efinawawi-anastasia.blogspot.com/2011/12/peranan-bioteknologi-dalam-kehidupan.html. peranan bioteknologi dalam kehidupan manusia. Diakses pada hari kamis, tanggal 28 Maret 2013.

Anonim, http://blogku–inspirasiku.blogspot.com/2012/06/makalah-bioteknologi.html. Makalah Bioteknologi. Diakses pada hari kamis, tanggal 28 Maret 2013.

Anonim, http://biosejati.wordpress.com/2012/04/02/penerapan-bioteknologi-di-bidang-kesehatan/. Penerapan bioteknologi dalam bidang kesehatan. Diakses pada hari kamis tanggal 28 maret 2013.

Makalah Hukum

KENDALA PROSES PENGAJUAN REMISI DALAM PP NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA
(Studi di Lapas Lowokwaru Malang)
JURNAL Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum
Oleh :
NOVAN RAKHMAD P
NIM. 0610110145
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2013
ABSTRAK
Novan Rakhmad P (2013). Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang. Kendala Proses Pengajuan Remisi Dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Terhadap Narapidana Narkotika (Studi Di Lapas Lowokwaru Malang). Dibimbing oleh Dr. Bambang Sudjito S.H, M.Hum dan Fachrizal Affandi S.H,M.H
Sistem pemasyarakatan yang berawal dari “kepenjaraan” kemudian berubah menjadi sistem pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan sudah tidak lagi menjadi tempat balas dendam, namun merupak tempat pembinaan narapidana. Setiap narapidana mempunyai hak-hak, dan Remisi merupakan hak setiap narapidana, bahkan narapidana narkotika juga berhak untuk mendapatkan remisi. Peraturan mengenai remisi dimulai dari PP No 32 tahun 1999, kemudian dirubah dalam PP No 28 tahun 2006, dan saat ini PP No 99 tahun 2012, dimana dalam PP No 99 tahun 2012 menambah syarat dalam pemberian remisi, salahsatunya kepada narapidana narkotika. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa kendala pemberian remisi berdasarkan PP No 99 tahun 2012, dan upaya untuk mengatasi kendala tersebut.
Hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan proses pengajuan remisi. Untuk narapidana yang terkena PP no 28 tahun 2006, cukup di ajukan sampai di Kanwil saja, sedangkan untuk narapidana yang terkena PP no 99 tahun 2012, pengajuan remisi di ajukan sampai ke Menteri Hukum dan HAM. Narapidana yang di pidana lebih lima tahun akan terkena PP no 99 tahun 2012, jika putusan pemjatuhan hukumannya setelah tanggal 12 November 2012. Jika penjatuhan hukuman sebelum tanggal 12 November 2012 akan terkena PP no 28 tahun 2006.
Untuk mengantisipasi surat bekerja sama dengan penegak hokum untuk membongkar tindak pidana yang dilakukannya, pihak Lapas membuatkan surat pernyataan terlebih dahulu kalau narapidana yang di ajukan tersebut telah mengajukan surat Keterangan bersedia bekerja sama dan masih dalam proses.
Kata-kata kunci: Lembaga Pemasyarakatan, Remisi, Narapidana Narkotika
ABSTRACT
Novan Rakhmad P (2013). Criminal Law, Faculty of Law, University of Brawijaya Malang. The Barrier against Remission Submission Process based on Government Regulation No. 99 of 2012 about Second Amendment to Government Regulation No. 32 of 1999 about Requirement and Order of Conduct of The Right of Narcotic Convict (Study at Community Institution of Lowokwaryu Malang). Advised by Dr. Bambang Sudjito S.H, M.Hum and Fachrizal Affandi S.H, M.Hum
Community institutionalization system begins from the expression of “detention”. The community institution is not a place for retaliation but represents a place to foster the convict into the better person. Every convict has rights and one such right is for remission. It is then possible that narcotic convict also has right for remission. Regulation over remission has been acknowledged through Government Regulation No. 32 of 1999 which then amended into Government Regulation No. 28 of 2006. Then, Government Regulation No. 99 of 2012 underscores the provision of this remission for narcotic convict. The objectives of this research are to understand and to analyze the provision of remission based on Government Regulation No. 99 of 2012 and to deal with the barrier.
Result of research indicates that the process of submitting for remission may vary. For the convict subjected to Government Regulation No. 28 of 2006, they can submit the request for remission to Regional Office, but for the convict subjected to Government Regulation No. 99 of 2012, the submission for remission is sent into The Minister of Law and Human Rights. The applicant convict with five years in prison will be subjected to Government Regulation No. 99 of 2012 but under condition that the verdict of the punishment is dated after November 12th of 2012. If the verdict is given before November 12th of 2012, the applicant convict will be subjected to Government Regulation No. 28 of 2006.
To anticipate the note of cooperation with the legal officer in revealing the criminal action, the management of community institution will equip the applicant convict with the letter of statement which informs that the applicant convict is on-going to register for the note of cooperation.
Keywords: Community Institution, Remission, Narcotic Convict
A. PENDAHULUAN
Setelah divonis bersalah dan dijatuhi pidana penjara, kemudian masuk ke dalam Lapas, maka mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya, sama seperti yang didapatkan oleh narapidana lain. Salah satu hak tersebut adalah mendapatkan remisi. Syarat dan ketentuan untuk mendapatkan remisi diatur dalam PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan pasal 34. Isi dari pasal 34 yakni:
1. Setiap narapidana dan anak pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi.
2. Remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah, apabila selama menjalani pidana, yang bersangkutan :a. berbuat jasa kepada negara, b. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, atau c. melakukan perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS.
3. ketentuan untuk mendapatkan remisi sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi narapidana dan anak pidana yang menunggu grasi sambil menjalani pidana.
Pemberian remisi bagi narapidana narkotika diatur dalam PP No. 28 Tahun 2006 Tentang perubahan Atas PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak warga Binaan Pemasyarakatan pasal 34 yang berbunyi:
1. Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan remisi
2. Remisi sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan kepada narapidana dan anak pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berkelakuan baik,dan
b. Telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.
3. Bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asaasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional teroganisasi yang lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berkelakuan baik,dan
b. Telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.
Dengan adanya PP No. 28 ini, diharapkan pemberian remisi bisa lebih diperketat. Pada tahun 2012, ada peraturan baru yang mengganti pasal 34 ayat 3, dengan adanya peraturan yang baru di harapkan tidak ada obral remisi lagi. Peraturan yang baru yakni PP No. 99 Tahun 2012. Isi dari pasal 34 yakni:
Pasal 34 :
(1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang telah memenuhi syarat:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
(3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan dengan:
a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan
b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat baik.
2. Ketentuan Pasal 34A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
(3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam peraturan pemerintah yang baru ini, menambahkan syarat-syarat dalam pemberian remisi. Syarat berkelakuan baik harus di buktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin, juga telah mengikuti program pembinaan lapas dengan predikat baik. Berdasarkan latar belakang diatas penulis melakukan penelitian yang berjudul “Kendala Proses Pengajuan Remisi Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terhadap Narapidana Narkotika (studi di lapas lowokwaru malang)
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah sebagaimana tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang dapat menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme proses pemberian remisi berdasarkan PP No 99 Tahun 2012?
2. Apa kendala yang dihadapi oleh petugas lapas dalam proses pemberian remisi kepada Narapidana Narkotika di Lapas lowokwaru Malang?
3. Bagaimana upaya untuk mengatasi kendala yang dihadapi dalam pemberian remisi kepada narapidana Narkotika di Lapas Lowokwaru Malang?
4. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis sosiologis. Metode pendekatan secara yuridis sosiologis ini meninjau masalah yang dihadapi dari segi ilmu hukum dengan melihat serta mengkaitkannya engan kenyataan yang terjadi
dalam implementasinya dan bertujuan untuk mendeskripsikan suatu kegiatan atau peristiwa alamiah (natural setting)1
Pendekatan secara yuridis ini menyeleseikan masalah yang ada dalam masyarakat dengan menerapkan peraturan yang berlaku dalam hal ini yaitu menemukan masalah-masalah (problem finding) yang terkait dengan pemberian remisi, kemudian menyelesikan masalah tersebut dengan peraturan yang berlaku yaitu peraturan perundang-undangan tentang pemasyarakatan. Pendekatan secara yuridis ini menguraikan metode penelitian dengan melakukan pendekatan-pendekatan dalam segi hukum dan sistematika lisan.
Sedangkan pendekatan sosiologis adalah melakukan penelitian terhadap kenyataan nyata di masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact fining) yang kemudian dilanjutkan dengan menemukan masalah (problem finding) kemudian menuju pada identifikasi masalah (problem identification).
Dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat keadaan nyata di Lapas Lowokwaru Malang kemudian dari fakta tersebut muncul permasalahan dalam pelaksanannya dan mencari penyeleseiannya dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan.
5. PEMBAHASAN
Penghuni lapas Lowokwaru sebagian besar di huni oleh narapidana narkotika. Narapidana narkotika mengalami peningkatan. Dari tahun 2011 jumlah narapidana narkotika berjumlah 429 orang. Pada tahun 2012 jumlah narapidana narkotika mengalami peningkatan, yakni berjumlah 530 narapidana. Karena jumlah narapidana narkotika berjumlah cukup banyak, maka untuk blok narapidana narkotika ditambah 3 blok lagi. Blok Flamingo untuk narapidana narkotika pemula, dan narapidana yang sudah lama di tempatkan
1 Soerjono Soekanto, 1990, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers: Jakarta, hal 18
di blok alap-alap. Blok narapidana narkotika berdekatan dengan blok tahanan (kakak tua), blok anak-anak (kenari), rumah sakit dan rehabilitasi (cendrawasih). Sedangkan untuk tahun 2013 jumlah narapidana narkotika berjumlah 497 narapidana. Termasuk 2 orang warga negara asing asal Malaysia yakni TCM dengan masa pidana 5 tahun penjara. Sedangkan KL dengan masa pidana 20 tahun penjara.
Ketika sudah berada di Lapas, narapidana mempunyai hak-hak yang sudah diatur dalam UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hak tersebut diantaranya adalah2:
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya
b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
e. Menyampaikan keluhan
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaraan media massa lainnya yang tidak dilarang
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas
Dalam pasal 14 ayat 1 poin I disebutkan bahwa setiap narapidana berhak untuk mendapatkan pengurangan masa hukuman (remisi). Hal yang menarik yakni peraturan mengenai pelaksananaan pemberian remisi seperti diketahui telah dilakukan perubahan dua kali. Peraturan yang terbaru mengenai syarat dalam pemberian remisi yakni Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012. Peraturan pertama mengenai pemberian remisi terdapat dalam PP No 32 Tahun 1999 Tentang syarat dan tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam peraturan pemerintah No 32 tersebut sudah
2 Pasal 14 ayat 1 UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan
mengakomodir syarat pemberian remisi kepada narapidana. Dan semua narapidana berhak untuk mendapatkan remisi tanpa terkecuali3.
Pengetatan dalam pemberian remisi dimulai sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP no 32 Tahun 1999 Tentang syarat dan tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pengetatan remisi merupakan dalam pemenuhan rasa keadilan dalam masyarakat. Masyarakat disini masyarakat yang mana? Apakah masyarakat yang berada di dalam Lapas atau di Luar lapas. Masyarakat di sini tentunya masyarakat yang berada di luar lapas. Remisi adalah hak narapidana, keadilan bagi narapidana akan terpenuhi bila mendapat remisi. Bagi masyarakat di luar lapas, ketika narapidana mendapat remisi, apa berakibat hukum bagi masyarakat?apakah tercederai tubuh mereka?apakah terjadi pelanggaran kepada masyarakat?sehingga rasa keadilan bagi masyarakat menjadi kabur. Rasa keadilan yang mana yang tercederai, selama proses pengajuan remisi sudah sesuai dengan peraturan.
Kemudian diatur lebih lanjut dalam PP No. 32 tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam pasal 34 dijelaskan:
1. Setiap narapidana dan anak pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi.
2. Remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah, apabila selama menjalani pidana, yang bersangkutan :a. berbuat jasa kepada negara, b. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, atau c. melakukan perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS.
3. ketentuan untuk mendapatkan remisi sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi narapidana dan anak pidana yang menunggu grasi sambil menjalani pidana.
3 Hasil wawancara dengan Bapak Karto Kabid Pembinaan Lapas Lowokwaru Malang Tanggal 14 Agustus 2013 Jam 09.00 WIB
Dalam PP No. 32 tahun 1999 tersebut semua narapidana berhak mendapat remisi jika memenuhi syarat: berkelakuan baik selama menjalani pidana, berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara dan kemanusiaan, melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di lapas. Untuk semua narapidana tidak terkecuali, selama memenuhi syarat dan peraturan maka akan di ajukan remisi. Untuk narapidana narkotika, telah mengikuti program pembinaan dengan predikat baik dibuktikan dengan kartu pembinaan atau hasil assesment.
Pada tahun 2006, dikeluarkan peraturan pemerintah No 28 tahun 2006 Tentang perubahan Atas PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak warga Binaan Pemasyarakatan pasal 34 yang berbunyi:
4. Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan remisi
5. Remisi sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan kepada narapidana dan anak pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
c. Berkelakuan baik,dan
d. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan
6. Bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asaasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional teroganisasi yang lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
c. Berkelakuan baik,dan
d. Telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana
Dengan dikeluarkannya PP No. 28 tahun 2006 ini , bagi narapidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhdap kemananan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, ada tambahan syarat dalam mendapatkan remisi. Yakni berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana. Berkelakuan baik disini dengan mengikuti program pembinnan yang diberikan oleh petugas lapas dan mendapat predikat baik. Selama narapidana mau mengikuti program pembinaan, tidak malas selama
mnegikuti program pembinaan pasti akan diajukan remisi, selama tidak melakukan pelanggaran disiplin.
Peraturan yang baru yakni PP No. 99 Tahun 2012. Isi dari pasal 34 yakni:
Pasal 34 :
(1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang telah memenuhi syarat:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
(3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan dengan:
a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan
b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat baik.
2. Ketentuan Pasal 34A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
(3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam peraturan pemerintah no 99 tahun 2012, Peraturan pemerintah NO 99 tahun 2012 menambah syarat tentang pemberian remisi, yakni syarat dalam pemberian
remisi. Setiap narapidana punya buku register F, di buku ini tertulis pelanggaran yang pernah di terima narapidana, jadi bisa dilihat, kalau dalam 6 bulan sebelum mendapat remisi, bisa dibatalkan. Salah satu narapidana yang bernama H, pernah tidak mendapat remisi, ketika melanggar aturan yang ada di dalam lapas, sehingga ketika hari raya idul fitri tidak mendapat remisi. Sejak saat itu ia berusaha menaati aturan yang ada supaya mendapat remisi, karena remisi adalah hal yang sangat ditunggu ketika hari raya idul fitri dan HUT RI.4
Dalam peraturan pemerintah no 99 tahun 2012 juga terdapat perubahan waktu pemberian remisi. Dalam pp no 28 tahun 2006, narapidana boleh mendapat remisi setelah menjalani 1/3 masa pidana. Sedangkan dalam peraturan pemerintah no 99 tahun 2012, narapidana boleh mendapat remisi setelah 6 (enam) bulan menjalani masa pidana. Narapidana narkotika, setelah di putus bersalah maksimal tanggal 17 februari 2013 baru boleh mendapat remisi, kalau lebih dari itu menunggu tahun depan untuk dapat remisi khusus. Sebagaiamana Narapidana A.H yang mendapat hukuman 5 tahun, kalau masih menggunakan pp yang lama, setidaknya masih 2 tahun lagi mendapat remisi, dengan adanya peraturan yang baru maka A.H sudah bisa diajukan untuk memperoleh remisi.5
Disinilah perbedaan antara seorang narapidana terkena dalam PP yang mana dalam pemberian remisi untuk narapidana narkotika. Narapidana yang di vonis diatas 5 tahun keatas, jika dia di vonis sebelum tanggal 12 Desember 2012, dia akan terkena PP no 28 tahun 2006, namun di tahun 2013 tidak bisa mendapat remisi karena syarat dalam PP no 28 tahun 2006 harus sudah menjalani 1/3 masa pidana. 1/3 dari 5 tahun sekitar 2 tahun, jadi narapidana tersebut baru bisa memperoleh remisi pada tahun 2014. Untuk
4 Hasil wawancara dengan Narapidana H Tanggal 14 Agustus 2013 Jam 10.00 WIB
5 Hasil wawancara dengan Bapak Danil Staff Registrasi Lapas Lowokwaru Malang tanggal 14 Agustus 2013 Jam 09.00 WIB
narapidana yang di vonis 5 tahun keatas setelah tanggal 12 desember 2012, akan terkena PP no 99 tahun 2012, maksimal tanggal 17 Februari 2013 vonis sudah di jatuhkan. Karena syarat dalam PP no 99 tahun 2012 sudah menjalani 6 bulan pidana. Juga harus memenuhi syarat harus bekerja sama dengan penegak hukum untuk kasus yang di hadapinya. Yang di vonis di bawah 5 tahun penjara, akan terkena PP No 99 Tahun 20, namun tidak perlu membuat surat pernyataan bekerja sama dengan penegak hukum.. Selain itu, pemberian remisi juga di perkuat dengan Permen No 6 tahun 2013 tentang tata tertib lembaga pemasyarakatan
Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Hal ini dibuktikan dengan surat yang ditetapkan oleh penegak hukum terkait bahwa narapidana yang bersangkutan adalah saksi pelaku yang bekerja sama.
6. KESIMPULAN
1. Terdapat perbedaan proses pengajuan remisi. untuk narapidana yang tekena PP no 28 tahun 2006, cukup di ajukan sampai di Kanwil saja, sedangkan untuk narapidana yang terkena PP no 99 tahun 2012, pengajuan remisi di ajukan sampi ke pusat. Narapidana yang di pidana lebih lima tahun akan terkena PP no 99 tahun 2012, jika putusan setelah tanggal 12 November 2012. Sebelum itu terkena PP no 28 tahun 2006.
2. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat kendala dalam pemberian remisi terhadap narapidana narkotika, yakni karena PP Nomor 99 tahun 2012 masih tergolong baru, maka perlu penyesuaian terhadap narapidana, selanjutnya banyaknya jumlah narapidana di Lapas Lowokwaru, tidak hanya narapidana narkotika saja yang mendapatkan remisi, semua narapidana berhak mendapatkan remisi sehingga
memerlukan waktu dalam sidang TPP, adanya narapidana yang mendapat hukuman disiplin sehingga tidak bisa mendapat remisi
3. Upaya yang dilakukan petugas Lapas dalam menghadapi kendala dalam pemberina remisi antara lain berkordinasi dengan jajaran lebih tinggi dalam lingkup pemasyarakatan mengenai peratutan tentang remisi, memanfaatkan waktu yang sebaik-baiknya dalam menilai narapidana ketika akan diajukan mendapat remisi, membina kesadaran narapidana agar mengikuti program pembinaan dengan baik. Membuat surat pernyataan agar narapidana tersebut dapat diajukan terlebih dahulu untuk mendapatkan remisi
Saran
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan bagi kajian ilmu pidana serta bisa dikembangkan menjadi penelitian selanjutnya mengenai PP No 99 Tahun 2012 mengingat pertauran pemerintah ini mengatur tentang syarat dan pemberian remisi bukan hanya kepada narapidana narkotika, juga kepada narapidana korupsi, terorisme, ham berat, kejahatan terhadan keamanana negara
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Achmad Soemadi dan R.Atmasamita, Sistem Pemasyarakatan Di
Indonesia,Bina Cipta: Bandung.2000
Andi Hamzah , Kamus Hukum, Ghalia:Jakarta. 1986
Bambang Purnomo, Kumpulan Karangan Ilmiah,Bumi Aksara:Bandung, 1982
Didin Sudirman,Masalah-masalah Aktual Bidang Pemasyarakatan,
Bidang Pengkajian dan pengembangan Kebijakan departemen
Hukum dan HAM RI: Jakarta 2006
Dwidja Priyatno. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia.Refika
Aditama: 2006
HR Soegondo MM. Fasilitas Sarana dan Prasarana di Lembaga
Pemasyarakatan. 2007
Moh. Taufik Maskoro dkk.. Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia:
Bogor: 2005
Rachmat Syafaat, Metodologi Penelitian Hukum,UB: Malang2000
Ronny Haninjito, Metodologi Penelitian Hukum dan jumiteri, Ghalia
Indonesia: Bogor. 1998
Soerjono Soekanto,Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers: Jakarta1990
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian:Suatu Pendekatan Praktek IV,
Rineka Cipta: Jakarta. 2002
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
PP No 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas PP No 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan PEmasyarakata
PP No. 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan PEmasyarakatan

Wednesday, December 16, 2015

Jurnal Biologi

31
JURNAL BIOLOGI XVI (2) : 31 - 35
ISSN : 1410 5292
IDENTIFIKASI FUNGI DAN TOTAL BAKTERI PADA JAMU TRADISIONAL
DI PASAR KEDONGANAN KELURAHAN JIMBARAN KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALI
IDENTIFICATION OF FUNGI AND TOTAL BACTERIA ON TRADITIONAL HERBAL MEDICINE AT KEDONGANAN MARKET OF JIMBARAN, BADUNG – BALI
Putu Ayu Sukmawati, Meitini W Proborini, Retno Kawuri
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Kampus Bukit Jimbaran, Universitas Udayana
ayu_sukma31@yahoo.co.id
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis cendawan, total koloni bakteri, dan mengetahui keberadaan bakteri pencemar Escherichia coli yang terdapat pada jamu tradisional di Pasar Kedonganan. Sampel diambil dari 4 pedagang jamu, setiap pedagang diambil 4 sampel jamu yaitu jamu beras kencur, sirih, kunyit dan sambiloto. Perhitungan total koloni cendawan dan total koloni bakteri pada jamu dilakukan dengan menggunakan metode pengenceran dan total koloni bakteri secara statistik dianalisa dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil penelitian menunjukkan ditemukan enam jenis cendawan yaitu Aspergillus niger, A. flavus, Penicillium citrinum, P. digitatum, P. brevicompactum, dan Acremonium sp pada jamu. Total jumlah koloni cendawan tertinggi ditemukan pada jamu beras kencur (107x105 CFU/ml) sedangkan terendah ditemukan pada jamu kunyit (20,5x105 CFU/ml). Batas standar kandungan jamur pada makanan yang direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan RI adalah sebesar <104 CFU/ml. Total bakteri tertinggi ditemukan pada jamu beras kencur (267,6x108 CFU/ml), sedangkan terendah ditemukan pada jamu kunyit (39x108CFU/ml). Kandungan bakteri keseluruhan jamu yang diuji telah melampaui ambang batas Departemen Kesehatan RI yaitu sebesar <106 CFU/ml. E.coli ditemukan pada jamu sambiloto, jamu kunyit, jamu beras kencur, oleh karena itu kehati-hatian perlu dilakukan jika meminum jamu.
Kata kunci: jamu, cendawan, total bakteri, Escherichia coli
ABSTRACT
This aims of the study were to determine the types of fungi, total colony bacteria, and the present by Escherichia coli as a contaminant bacteria found in traditional juice (jamu) as herbal medicine at Kedonganan Market. Samples were taken from 4 juice treaders. Four different inggridient of juices (beras kencur/ rice and white tumeric), sirih/ Piper betel, kunyit/ turmeric and sambiloto/ Andrographis were taken from each seller. The total of fungal and bacterial colonies on those jamu were calculated. The data collected were statistically analysed using a Completely Randomized Design (CRD). The results showed that six types of fungi were found i.e. Aspergillus niger, A. flavus, Penicillium citrinum, P. digitatum, P. brevicompactum, and Acremonium sp. The highest number of fungal colonies were detected in beras kencur (107x105 CFU/ml), and the lowest were in kunyit (20,5x105 CFU/ml). The Ministry of Health of Indonesian government recommended fungal content in food was less than 104 CFU/ml. The total bacteria colonies present in jamu was highest in beras kencur (267,6 x108 CFU/ml) and the lowest was in kunyit (39x108CFU/ml). The Indonesian government recommended bacteria in food should be less than 106 CFU/ml. It means that either the fungal or bacteria content in jamu was exceed the Indonesian Government recommendation. Esceria coli was detected in sambiloto, turmeric and beras kencur. Therefore, caution should be taken to consume jamu as a herbal medicine.
Keywords: herbs, fungi, total bacteria, Escherichia coli
PENDAHULUAN
Tanaman obat merupakan sumber daya alam hayati yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pemanfaatan obat tradisional pada umumnya lebih diutamakan untuk mencegah penyakit dan menjaga kesehatan, serta upaya sebagai pengobatan suatu penyakit (Santoso, 2000). Salah satu kelompok obat tradisional adalah jamu. Jamu sudah dikenal di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sebagai sarana perawatan kesehatan sehari-hari maupun sebagai sarana pemulihan kesehatan dari sakit. Ramuan yang ada di dalam jamu terdiri dari berbagai bagian tanaman yang saling bekerja sama membantu perawatan dan untuk pencegahan penyakit. Hal ini juga dinyatakan oleh Soedibyo (2004) bahwa penggunaan jamu bermanfaat untuk menjaga kesehatan.
Secara umum jamu memiliki dua bentuk yaitu serbuk dan cair. Jamu serbuk merupakan jamu dalam kemasan yang siap diseduh dengan bahan alam yang telah diuji sanitasinya, bahan baku dan produk sudah distandarisasi
JURNAL BIOLOGI Volume XVI No.2 DESEMBER 2012
32
sedangkan jamu dalam bentuk cair biasa disebut jamu
gendong, dijual penjaja untuk konsumen (Depkes,2000).
Jamu dibuat dari bahan-bahan alami, berupa bagian dari
tanaman seperti rimpang, daun-daunan, buah dan kulit
batang. Proses pembuatan jamu dimulai dari pemilihan
bahan baku, pencucian, pengolahan dan penyajian
dengan cara yang masih sangat sederhana, sehingga
tidak menutup kemungkinan apabila jamu-jamu tersebut
tercemar oleh mikroorganisme. Menurut Suharmiati dan
Handayani (1998), pencemaran mikroba pada produkproduk
tradisional (termasuk jamu) dan produk makanan
pada umumnya bersumber dari bahan baku, pekerja dan
lingkungan pengolahan termasuk peralatan produksi.
Di Bali pada beberapa wilayah masih banyak ditemui
penjual jamu gendong yang menjajakan dagangannya di
dalam pasar (Pasar Kedonganan), jamu-jamu yang di
jual di Pasar Kedonganan diminati masyarakat karena
mereka sangat percaya bahwa jamu-jamu tradisional
dapat membantu menyembuhkan penyakit, namun para
pedagang jamu masih sangat tradisional dalam mengolah
jamu sehingga diasumsikan kurang memperhatikan
higienitas dan sanitasi, baik produk maupun lingkungan.
MATERI DAN METODE
Identifikasi Cendawan
Isolasi cendawan dilakukan dengan metode
pengenceran. Sampel jamu gendong (beras kencur,
sirih, kunyit dan sambiloto) masing-masing diambil 1
ml kemudian dicampur dengan 9 ml air steril sebagai
pengenceran 10-1. Metode yang sama dilakukan untuk
pengenceran 10-2-10-5. Masing-masing pengenceran
diambil 1 ml dan dituang dalam cawan petri steril,
diputar cawan petri hingga homogen, diinkubasi 2-3 hari
pada suhu ruang dan hifa yang tumbuh dapat diamati
dan dipindahkan ke media PDA, kemudian diidentifikasi
(Proborini, 2002). Identifikasi cendawan dilakukan
pengamatan secara makrokopis dan mikrokopis. Literatur
yang digunakan untuk mengidentifikasi cendawan adalah
Fungi and Food Spoilage (Pitt dan Hocking, 1997),
Pengenalan Kapang Tropik Umum (Gandjar dkk., 1999)
dan Pengantar Mikologi (Darnetty, 2006).
Perhitungan Jumlah Total Bakteri
Perhitungan total bakteri dilakukan dengan Metode
Pengenceran/ Platting Method (Pelczar dan Chan, 2006)
yaitu dengan mengambil sampel jamu dari masingmasing
sampel yang berbeda dan diambil sebanyak 10
ml kemudian sampel dimasukkan ke dalam botol yang
telah berisi air steril sebanyak 90 ml sehingga didapatkan
pangkat pengenceran 10-1 dan dilakukan berseri hingga
10-8. Sampel ditanam dengan cara diambil 1 ml dan
diletakkan pada cawan petri steril yang kemudian
ditambahkan media NA pada suhu 400C, dihomogenkan
dan diinkubasi dalam keadaan terbalik pada suhu 370C
selama 24 jam (Kawuri dkk, 2007). Untuk perhitungan
dilakukan dengan menghitung jumlah koloni setiap cawan
petri antara 25-250, jika tidak ada yang memenuhi syarat
maka dipilih yang jumlahnya mendekati 25 atau 250
(Pelczar dan Chan, 2006).
Uji Keberadaan Bakteri E.coli
Seluruh sampel jamu diuji keberadaan bakteri E.coli
dengan cara sampel diambil 1 ose dan digoreskan pada
media selektif EMBA kemudian diinkubasi pada suhu
37oC selama 24-48 jam. Hasil positif ditandai dengan
koloni E.coli berwarna hijau metalik (Kawuri dkk.,
2007). Hasil total koloni bakteri dan cendawan dianalisa
statistik dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan parameter jenis jamu (4) dan pedagang
(4), kemudian dianalisis dengan ANOVA jika diperoleh
hasil yang berbeda nyata pada p<0,05 maka dilanjutkan
dengan menggunakan uji Duncan.
HASIL
Isolasi Cendawan
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan koloni
cendawan yang tumbuh pada media PDA dan hasil
identifikasi secara makroskopis maupun mikroskopis
ditemukan enam spesies cendawan yaitu Aspergillus
niger, A. flavus, Penicillium citrinum, P.digitatum,
P.brevicompactum, dan Acremonium sp.
Gambar 1. Aspergillus niger
Secara makroskopis cendawan ini memiliki koloni
berwarna hitam dengan warna sebalik koloni abu-abu,
membentuk garis-garis radier. Secara mikroskopis
cendawan ini hifa berseptat, membentuk vesikel, terdapat
sterigma, konidia berbentuk bulat seperti bola berukuran
3,5μm (Pitt dan Hocking, 1997).
Gambar 2. Aspergillus flavus
Koloni secara makroskopis berwarna hijau kekuningan
dengan warna sebalik koloni berwarna kuning keabuan.
Secara mikroskopis konidia khas berbentuk bulat,
berukuran 2,5 μm, konidiofor kasar, fialid terbentuk
langsung pada vesikula atau pada metula (Gandjar,
1999).
33
Identifikasi Fungi dan Total BaktEri Pada Jamu Tradisional di Pasar Kedonganan Kelurahan Jimbaran Kabupaten Badung Provinsi Bali [Putu Ayu Sukmawati, dkk]
Gambar 3. Penicillium citrinum
Secara makroskopis koloni ini berwarna kuning
hingga jingga. Sedangkan secara mikroskopis konidifor
berdinding halus terdapat fialid berbentuk seperti botol.
Konidia berbentuk bulat-semibulat, berdinding halus
sebagian dinding kasar (bergranula) dan berdiameter
3 μm (Gandjar, 1999).
Gambar 4. Penicillium digitatum
Secara makroskopis permukaan koloni seperti beludru
dan berwarna kuning dengan sebalik koloni berwana
kuning muda. Sedangkan secara mikroskopis konidiofor
bercabang tidak teratur, fialid berbentuk silindris dengan
leher yang pendek, konidia berbentuk elips hingga
silindris, berukuran 3,5 μm (Gandjar, 1999).
Gambar 5. Penicillium brevicompactum
Koloni secara makroskopis berwarna hijau tua dengan
warna sebalik koloni berwarna hijau muda kekuningan.
Secara mikroskopis fialid berbentuk seperti botol, konidia
bulat, berukuran 1,5 μm dan konidifor berdinding halus
(Pitt dan Hocking, 1997).
Gambar 6. Acremonium sp
Koloni secara makroskopis koloni seperti beludru
berwarna putih keabuan dengan sebalik koloni berwarna
coklat tua dan terdapat garis-garis lateral. Secara
mikroskopis konidia berbentuk elips berukuran 3,2 μm
berdinding halus, dan konidiofor bercabang (Gandjar,
1999).
Tabel 1. Total Koloni Cendawan pada Jenis Jamu di Pasar Kedonganan
Pedagang
Rata-rata total cendawan pada berbagai jenis jamu (CFU/ml)
A
(beras kencur)
B
(kunyit)
C
(sirih)
D
(sambiloto)
1. 76x105 39x105 110x105 76x105
2. 107x105 20,5x105 27x105 87x105
3. 101,5x105 25x105 67x105 89,5x105
4. 95x105 46x105 47,3x105 83,5x105
Tabel 2. Total koloni bakteri pada jenis jamu yang beredar di Pasar Kedonganan
No. Jenis jamu Rata-rata total bakteri CFU/ml
1. Beras kencur 121,4(c)
2. Kunyit 49,00(a)
3. Sirih 66,66(ab)
4. Sambiloto 75,66(a)
Keterangan:
Uji Anova (α=0,05) dilanjutkan dengan Uji Duncan taraf 5%. Huruf sama pada kolom
yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata.
Tabel 3. Total koloni bakteri pada jenis jamu berdasarkan pedagang yang
beredar di Pasar Kedonganan
No. Pedagang Rata-rata total bakteri CFU/ml
1. 1 125,83(b)
2. 2 56,58(a)
3. 3 58,16(a)
4. 4 72,16(a)
Keterangan:
Uji Anova (α=0,05) dilanjutkan dengan Uji Duncan taraf 5%. Huruf sama pada kolom
yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata.
Tabel 4. Uji keberadaan bakteri pencemar E.coli pada jamu gendong (beras
kencur, kunyit, sirih, dan sambiloto) di Pasar Kedonganan
No. Pedagang Jenis Jamu Keberadaan E.coli
1. 1 Beras Kencur -
2. Kunyit -
3. Sirih -
4. Sambiloto +
5. 2 Beras Kencur +
6. Kunyit -
7. Sirih -
8. Sambiloto -
9. 3 Beras Kencur -
10. Kunyit -
11. Sirih -
12. Sambiloto -
13. 4 Beras Kencur +
14. Kunyit -
15. Sirih -
16. Sambiloto -
Hasil pengamatan uji keberadaan E.coli ditemukan
adanya bakteri yang berwarna hijau mengkilat
menunjukan adanya bakteri E.coli, dapat terlihat pada
gambar berikut:
JURNAL BIOLOGI Volume XVI No.2 DESEMBER 2012
34
Gambar 7. Foto Koloni E.coli Berwarna Hijau Metalik pada Media EMBA
PEMBAHASAN
Pada Tabel 1 menunjukkan total koloni cendawan
tertinggi terdapat pada jamu beras kencur yaitu
sebesar 110 x105 CFU/ml . Hal ini disebabkan bahan
baku dalam pembuatan beras kencur yang terdiri dari
beras, kencur dan gula. Menurut Fardiaz (1992) beras
mengandung karhohidrat dan glukosa yang merupakan
tempat cendawan untuk memperoleh energi. Selain itu,
keberadaan cendawan dan bakteri dapat disebabkan
bahan baku yang digunakan sudah terkontaminasi
mikroba, dimana pada proses pembuatan jamujamu
tersebut para pedagang kurang memperhatikan
kebersihan baik selama proses pembuatan atau bahkan
lingkungan tempat para pedagang tersebut berjualan.
Pertumbuhan total koloni cendawan terendah
terdapat pada jamu kunyit yaitu sebesar 20,5x105 CFU/
ml, hal ini dikarenakan kunyit mengandung senyawa
metabolit sekunder atau zat antimikroba. Griffin
(1981) menyatakan bahwa kurkumin adalah senyawa
antifungi yang terkandung di dalam ekstrak kunyit
yang merupakan bagian dari komponen minyak atsiri
kunyit yang mengandung senyawa metabolit sekunder
yang termasuk ke dalam golongan seskuiterpen.
Menurut Departemen Kesehatan RI, seluruh sampel
dari produsen jamu tradisional tersebut menunjukkan
jumlah angka kontaminasi cendawan melebihi standar
batas kontaminasi cendawan yang masih dianggap aman
untuk dikonsumsi pada obat tradisional sesuai yang
disyaratkan yaitu sebesar <104 CFU/ml.
Pedagang 3 memiliki jumlah cendawan yang
tertinggi, dari hasil survey pada pedagang jamu 3
proses pengolahan jamu sangat tidak higienis sehingga
tidak menutup kemungkinan terjadi kontaminasi oleh
spora-spora mikroba saat proses pengolahan. Selain itu
pengaruh faktor lokasi penjualan juga sangat mendukung
terjadinya kontaminasi mikroba yang terdapat di
udara pasar. Sedangkan, pada sampel jamu pedagang
2 memiliki pertumbuhan cendawan terendah. Hal
ini dikarenakan faktor lingkungan di sekitar tempat
berjualan yang higienis. Hal ini didukung dengan
pendapat Pratiwi (2012) bahwa besarnya jumlah koloni
cendawan dalam sediaan jamu tersebut dapat disebabkan
pada saat pengangkutan dan pemasaran, karena kemasan
tidak disegel, mudah dibuka dan dapat berhubungan
dengan udara luar.
Cendawan yang paling banyak ditemukan dari keempat
sampel jamu (beras kencur, kunyit, sirih dan sambiloto)
adalah A.niger dan A. flavus sedangkan Acremonium sp
pertumbuhan lebih sedikit. Kedua cendawan ini dapat
tumbuh lebih banyak ditemukan dikarenakan cendawan
ini mampu berkompetisi dengan cendawan yang lain
dan dapat mengeluarkan metabolit sekunder yang bisa
menghambat pertumbuhan cendawan lainnya, sehingga
cendawan ini dapat mengabsorbsi nutrisi yang lebih
banyak dan menyebabkan pertumbuhannya lebih cepat.
Faktor lingkungan yang dapat mendukung kecepatan
pertumbuhan cendawan yaitu suhu, kelembaban dan
intensitas cahaya (Syarief dkk, 2003).
Berdasarkan data pada Tabel 3 diperoleh rata-rata
total koloni bakteri yang ditemukan pada jenis jamu yaitu
beras kencur, kunyit, sirih dan sambiloto. Pada jamu
beras kencur mengandung total koloni tertinggi (121,4
CFU/ml) berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan
jenis jamu kunyit, sirih, dan sambiloto. Kandungan total
koloni bakteri pada jamu kunyit dan sambiloto tidak
berbeda nyata (P>0,05) sedangkan jamu sirih memiliki
total koloni bakteri yang berbeda nyata (P<0,05) dengan
kunyit dan sambiloto. Pada tabel 4 menunjukkan total
koloni bakteri tertinggi (125,83 CFU/ml) terdapat
pada pedagang 1 yang berbeda nyata (P<0,05) dengan
pedagang lainnya (pedagang 2, 3 dan 4).
Total bakteri tertinggi terdapat pada jamu beras kencur
yaitu sebesar 267,6 x 108 CFU/ml. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena air yang digunakan untuk membuat
jamu tidak dimasak hingga mendidih, bahan baku yang
tidak bersih dan proses pembuatan yang tidak higienis.
Sedangkan total bakteri terendah terdapat pada jamu
kunyit pada yaitu sebesar 39x108 CFU/ml karena kunyit
memiliki senyawa kurkumin. Menurut Madigan (2005),
senyawa kurkumin dapat menghambat pertumbuhan
mikroba dengan cara merusak membran sel sehingga
menyebabkan denaturasi protein sel yang akan mengubah
permeabilitas membran dan menyebabkan kebocoran
nutrisi pada sel bakteri sehingga sel tersebut mati. Dari
keempat pedagang jamu total bakteri tertinggi terdapat
pada pedagang 1. Dari hasil pengamatan pedagang 1 di
lingkungan tempat berjualan jamu yang tidak higienis
dan rendahnya sanitasi, sehingga tidak menutup
kemungkinan terjadi kontaminasi spora-spora bakteri
saat penuangan jamu. Menurut Sayuti dkk (2005),
pengaruh faktor lokasi penjualan jamu gendong dan
beberapa penjual jamu tradisional menjual jamu di
area yang tidak higienis yang memungkinkan banyak
terjadinya kontaminasi jamu dari mikroba udara.
Sedangkan total bakteri terendah terdapat pada pedagang
2, hal ini disebabkan karena pedagang 2 berjualan di
tempat yang lebih bersih bila dibandingkan dengan lokasi
pedagang lainnya dan berdasarkan dari hasil wawancara
dimana pedagang tersebut, pada waktu mengolah jamu
dengan cara merebus kembali ekstrak hingga mendidih.
Dari data tersebut didapatkan bahwa populasi bakteri
pada seluruh jamu yang diuji telah melampaui ambang
batas yang diperbolehkan oleh Departemen Kesehatan
RI yaitu sebesar <106 CFU/ml.
Uji keberadaan bakteri E.coli jamu gendong dengan
menggunakan media EMBA diperoleh hasil positif
mengandung E.coli pada pedagang 1 jamu sambiloto,
pedagang 2 jamu beras kencur, pedagang 4 jamu beras
kencur seperti yang terlihat pada Tabel 5. Hal ini
35
Identifikasi Fungi dan Total BaktEri Pada Jamu Tradisional di Pasar Kedonganan Kelurahan Jimbaran Kabupaten Badung Provinsi Bali [Putu Ayu Sukmawati, dkk]
disebabkan air yang digunakan dalam pembuatan jamu
berasal dari air yang tidak dimasak sampai mendidih
sehingga spora dari bakteri E.coli dapat tumbuh, dan alat
dan bahan yang digunakan tidak dicuci bersih, meskipun
dari hasil wawancara didapatkan hasil bahwa air dimasak
terlebih dahulu. Pertumbuhan dan perkembangan bakteri
dipengaruhi oleh zat makanan (nutrisi), keasaman (pH),
temperatur, oksigen, tekanan osmosa, dan kelembaban
(Dwijosaputro, 1985). Menurut Rao (1994), jumlah
bakteri setelah inkubasi selama 24 jam, jumlah akan
terus bertambah jika masa inkubasi bakteri tersebut
ditambah sampai batas tertentu tetapi populasi bakteri
akan menurun hingga akhirnya mati seiring dengan zat
gizi yang terdapat di dalam media habis.
Penyebab adanya bakteri E.coli pada sampel jamu
tradisional diduga disebabkan oleh lingkungan tempat
pembuatan jamu yang tidak higienis dan rendahnya
sanitasi. Rahmawati et al (1988), menyatakan bahwa
sanitasi berperan penting dalam pengolahan dan
penjualan jamu. Dengan peningkatan sanitasi lingkungan
dan tempat serta alat-alat produksi yang lebih baik
serta mengacu pada standar produksi obat yang baik,
merupakan suatu alternatif guna peningkatan mutu
jamu. Berdasarkan hasil pengamatan di sekitar lokasi
penjualan, lingkungan di sekitar sangat kotor dan dekat
dengan tempat pemasaran ikan. Menurut Handayani dan
Suharmiati (2000), sistem pengolahan dan penyajian
yang kurang baik atau kurang higienis menyebabkan
pencemaran mikroba pada jamu gendong. Jawetz (2001)
menyatakan bahwa pencemaran oleh Escherichia coli
akan mengganggu kesehatan konsumen dan penyakit
yang ditimbulkan antara lain infeksi saluran kencing,
septis, meningitis dan diare.
SIMPULAN
Ditemukan enam jenis cendawan pada sampel jamu
tradisional yaitu A. niger, A. flavus, P.citrinum, P.
digitatum, P. brevicompactum, dan Acremonium sp.
Total jumlah cendawan terendah pada jamu kunyit
pedagang 2 sebesar 20,5x105 CFU/ml sedangkan total
jumlah cendawan tertinggi pada jamu beras kencur
pedagang 3 sebesar 107x105 CFU/ml. Total bakteri
tertinggi terdapat pada jamu beras kencur yaitu sebesar
267,6x108 CFU/ml dari pedagang 1 sedangkan total
bakteri terendah terdapat pada jamu kunyit yaitu 39x108
CFU/ml dari pedagang 2. Terdapat bakteri E.coli pada
tiga pedagang jamu di Pasar Kedonganan yaitu pada
pedagang I (jamu sambiloto), pedagang II (jamu beras
kencur), pedagang IV (jamu beras kencur).
KEPUSTAKAAN
Darnetty. 2006. Pengantar Mikologi. Andalas University Press:
Padang.
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Pengawasan Obat dan
Makanan. 2000. Acuan Sediaan Herbal, DepKes RI, Jakarta.
Dwidjoseputro, D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan,
Jakarta.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Gandjar, I., R. A. Samson, K. T. Vermeulen, A. Oetari. I. Santoso.
1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Griffin, H.D. (1981). Fungal Physiology. New York. John Wiley &
Sons, Inc.
Kawuri, R., Y. Ramona., I.B.G. Darmayasa. 2007. ��������������Penuntun Praktikum
Mikrobiologi Umum Untuk Prodi Farmasi FMIPA
UNUD. Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Udayana. Denpasar.
Madigan M. 2005. Brock Biology of Microorganisms. London:
Prentice-Hall
Pelczar, M. J., Chan. Penerjemah R.S. Hadioetomo., T. Imas.,
S.S. Tjitrosomo. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI Press.
Jakarta.
Pitt, J. I., A. D. Hocking. 1997. Fungi And Food Spoilage. Blackie
Academic and Pofessional. Sydney.
Pratiwi, S.T. 2012. Pengujian Cemaran Bakteri dan Cemaran
Kapang/ Khamir pada Produk Jamu Gendong di Daerah
Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Proborini, M. W. 2002. Penuntun Praktikum Mikologi. Laboratorium
Taksonomi Tumbuhan Dan Mikologi. Jurusan Biologi
Fakultas Matematika Universitas Udayana. Bukit Jimbaran.
Rahmawati, RA, Asih dan Supriyana. 1988. Selayang Pandang Jamu
Gendong. Medika Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Jakarta.
Rao, S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman.
Universitas Indonesia UI-Press. Jakarta.
Santoso, S.S., 2000, Penelitian Manfaat Pengobatan Tradisional
untuk Penyembuhan Penyakit Tidak Menular. JKPKBPPK/
Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial http://digilib.litbang.depkes.go.id Diakses:
19 April 2005
Sayuti, I., S. Wulandari., S. Fatimah. 2005. Bakteri Enterik dalam
Minuman Jamu Gendong di Kota Pekanbaru. ��������������Jurnal Biogenesis
Vol 2 (1). Universitas Riau.
Soedibyo, M. 2004. Jamu, Obat Sepanjang Zaman http://www.
tokohindonesia.com/ensiklo–pedi/m/mooryat soedibyo/
opini.shtml Diakses: 18 April 2005
Suharmiati, L. Handayani. 1998, Bahan Baku, Khasiat dan Cara
Pengolahan Jamu Gendong: Studi Kasus di Kotamadya
Surabaya, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan
kesehatan, Departemen Kesehatan RI
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/052001/art-1.htm Diakses:
18 April 2005
Syarief, R., L.Ega, C.C. Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan.
Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

Jurnal Biologi

37
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI JAMUR PENYEBAB PENYAKIT LAYU DAN ANTAGONISNYA
PADA TANAMAN KENTANG YANG DIBUDIDAYAKAN DI BEDUGUL, BALI
ISOLATION AND IDENTIFICATION OF THE CAUSATIVE AGENTS OF WILTING
AND THEIR ANTAGONISTICS IN POTATO PLANTS CULTIVATED IN BEDUGUL, BALI
Ida Ayu Putu Suryanti1, Yan Ramona2,3, Meitini W Proborini3
1Magister Program Studi Biologi, Universitas Udayana
2UPT. Lab. Biosain dan Bioteknologi, Universitas Udayana
3Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Udayana
Email: dayusuryanti@yahoo.co.id
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jamur penyebab penyakit layu pada tanaman kentang dan mengisolasi
antagonisnya dari daerah rhizosphere tanaman tersebut yang dibudidayakan di Desa Candikuning, Bedugul, Bali.
Untuk mendeteksi patogen penyebab penyakit tersebut, pada penelitian diterapkan Postulat Koch. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Fusarium oxysporum isolat A dan B merupakan dua isolat yang terindikasi sebagai penyebab
penyakit layu pada tanaman kentang. Pada penelitian ini tiga isolat jamur antagonis (Trichoderma spp. isolat A,
Trichoderma spp. isolat B, dan Aspergillus niger) berhasil diisolasi dari daerah rhizosphere tanaman kentang.
Uji antagonis (in vitro) dengan menggunakan dual culture assay menunjukkan semua antagonis menghambat
pertumbuhan jamur patogen Fusarium dengan persentase hambatan yang bervariasi antara 36,57 - 75,76%.
Trichoderma spp. isolat A menunjukkan hasil terbaik dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen, dengan
persentase hambatan sebesar 75,76%. Sementara itu, persentase hambatan terkecil (36,57%) pada patogen teramati
pada Aspergillus niger.
Kata kunci: tanaman kentang, Fusarium oxysporum, Trichoderma spp., Aspergillus niger.
ABSTRACT
The main objectives of this research were to investigate the causative agents of wilting in potato and isolate
their antagonists from the rhizosphere zone of this plant, ciltivated in Candikuning village, Bedugul, Bali. Koch
Postulate was applied in the identification of the pathogens. The results showed that two isolates of Fusarium
oxysporum (isolate A and B) were identified to be the main cause of the disease. Three isolates of antagonists of
the disease causative agents, namely Trichoderma spp. isolates A, Trichoderma spp. isolates B, and Aspergillus
niger, were successfully isolated in this research from the rhizosphere zone of infected plants. All antagonists
were found to be effective to control the fungal pathogens in vitro (by dual culture assay) with various degree of
inhibitions, ranging from 36.57% to 75.76 %. Trichoderma spp. isolate A was found to be the most effective one
to inhibit the growth of pathogens in vitro, with the percentage of inhibition of 75.76%, while the lowest inhibition
was observed on Aspergillus niger, with the percentage of inhibition of 36.57 %.
Keywords : potato plants, Fusarium oxysporum, Trichoderma spp., Aspergillus niger.
PENDAHULUAN
Kentang merupakan bahan pangan utama keempat di
dunia, setelah gandum, jagung dan padi. Di Indonesia,
kentang (Solanum tuberosum L.) termasuk salah satu
bahan pangan alternatif yang mulai dikembangkan pada
bidang pertanian dan banyak digunakan sebagai bahan
baku dalam industri olahan makanan (Rubatzky dan
Yamaguci, 1998; Fuglie, 2000; Samadi, 2007).
Tingginya nilai gizi dan banyaknya permintaan di
pasaran Indonesia menyebabkan kentang mulai banyak
diproduksi pada daerah yang kurang produktif (Rubatzky
dan Yamaguci, 1998). Masalah yang paling sering
dihadapi oleh petani dalam budidaya kentang adalah
tidak tersedianya bibit yang tahan terhadap serangan
penyakit, sehingga produktivitasnya menjadi sangat
rendah (Suhardi, 1993; Rukmana, 1997).
Menurut Burnett dan Oxley (2010), penyakit yang
paling banyak menyerang tanaman kentang adalah
penyakit layu yang disebabkan oleh jamur patogen.
Phytopthora infestan dan Fusarium sp. pernah dilaporkan
sebagai penyebab penyakit layu yang menyerang tanaman
kentang di sebagian besar daerah di Tunisia (Ayed et
al., 2006). Gejala layu umumnya dimulai dari daun yang
lokasinya di bawah dan selanjutnya berkembang ke arah
atas akibat pangkal batang mulai membusuk. Daun yang
layu akan menguning dan akhirnya mengering, walaupun
daun pucuknya tetap tampak hijau (Warda, 2008).
Untuk menanggulangi penyakit layu, sampai saat
Jurnal Biologi XVII (2) : 37 - 41 ISSN : 1410 5292
Jurnal Biologi Volume XVI I No.1 JUNI 2013
38
ini petani kentang di Bedugul mengandalkan fungisida
berbasis bahan kimia. Dalam berbagai penelitian, bahan
kimia yang dipakai mempunyai berbagai efek negatif
pada manusia dan hewan, seperti berbagai macam
penyakit berbahaya antara lain kanker dan cacat tubuh
(Shim et al., 2009), kemandulan (Sutikno, 1992),
dan kematian (Soesanto, 2008). Untuk mengurangi
penggunaan fungisida berbasis bahan kimia, dalam dua
dekade ini mulai dikembangkan metoda alternatif, salah
satunya adalah penggunaan musuh alami dari patogen
tersebut (Hassanudin, 2003). Penelitian Khoirunisya
(2009) menyatakan Trichoderma spp. dan Penicillium
spp. mempunyai sifat antagonis terhadap jamur patogen.
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka
pada penelitian ini dilakukan isolasi dan identifikasi
patogen (penyebab layu pada tanaman kentang) dan
antagonisnya dari daerah rhizosphere tanaman kentang
yang dibudidayakan di Bedugul, Bali. Selain itu, uji in
vitro dengan menggunakan dual culture assay untuk
mengetahui persentase daya hambat antagonis terhadap
patogen juga dilakukan pada penelitian ini.
MATERI DAN METODE
Isolasi dan Identifikasi Jamur Patogen
Isolasi patogen dilakukan dengan cara memotong
bagian yang terinfeksi (daun dan batang) dengan
ukuran sekitar 1x1cm, dicelupkan ke dalam beaker
glass yang berisi alkohol 70% selama 2 menit untuk
menghilangkan kontaminasi pada bagian luarnya,
kemudian dibilas dengan cara mencelupkan ke dalam
akuades steril sebanyak 3 kali. Setelah itu diletakkan
pada permukaan media Potato Dextrose Agar (PDA)
yang telah diisi antibiotik cloramfenikol (100 mg/L)
(Samson et al., 1995), dan diinkubasikan selama 5
hari pada suhu 27-280C. Miselium jamur yang tumbuh
selanjutnya direisolasi pada media PDA dan Malt Exract
Agar (MEA) baru, sampai diperoleh isolat jamur yang
diduga sebagai penyebab penyakit layu pada tanaman
kentang. Selanjutnya dilakukan identifikasi awal secara
makroskopis dengan melihat warna, bentuk (miselia),
dan pigmentasi koloni serta mengukur diameternya
untuk mencocokkannya dengan referensi. Sedangkan
identifikasi mikroskopis dilakukan setelah Postulat Koch.
Prosedur Postulat Koch
Jamur patogen yang telah diisolasi dari tanaman
kentang yang terinfeksi, diinokulasikan pada tanaman
kentang sehat yang berumur 3 minggu, kemudian
diamati gejala penyakit yang muncul. Gejala penyakit
yang muncul harus sama dengan yang diamati pada
tanaman kentang yang terinfeksi, dimana patogen
tersebut diisolasi. Setelah itu, dilakukan isolasi kembali
dari tanaman yang bergejala sakit tersebut.
Jamur yang diisolasi harus mempunyai karakteristik
yang sama dengan yang dimiliki oleh patogen sebelumnya.
Setelah diperoleh jamur yang pasti sebagai patogen, maka
dilakukan identifikasi secara mikroskopis (bentuk dan
ukuran makrokonida, mikrokonidia dan klamidospora)
untuk disesuaikan dengan ciri dan karakteristik yang
terdapat pada buku “Pengenalan Kapang Tropik Umum”
(Gandjar et al., 1999).
Isolasi Jamur Antagonis
Isolasi antagonis diawali dengan mengambil sampel
tanah dari daerah perakaran (rhizosphere) tanaman
kentang di Desa Candikuning Bedugul, Bali. Selanjutnya,
sebanyak 10 gram sampel tersebut dilarutkan dalam 90
ml air steril untuk mendapatkan tingkat pengenceran
sebesar 10 kali (10-1). Sampel ini kemudian diencerkan
lebih lanjut sampai diperoleh tingkat pengenceran
tertinggi sebesar 10-6. Kemudian, sebanyak 1 ml sampel
dengan tingkat pengenceran sebesar 10-1 sampai 10-6
disebar pada permukaan media PDA yang diisi antibiotik
cloramfenikol (100 mg/L), diinkubasi pada suhu kamar
selama 2-5 hari, selanjutnya koloni tunggal yang tumbuh
dimurnikan pada media PDA dan MEA, dan disimpan.
Setelah itu dilakukan identifikasi dengan prosedur yang
sama dengan jamur patogen.
Uji Antagonis (in vitro) Jamur Antagonis terhadap
patogen (Fusarium sp.)
Uji antagonisme dilakukan dengan dual culture assay
seperti yang dilaporkan oleh Benhamou dan Chet (1993).
Ujung hifa Fusarium sp. yang berumur 5 hari diambil
dengan alat pelubang gabus (cork borer) yang berdiameter
6 mm dan dipindahkan ke medium PDA. Pada waktu
yang bersamaan ditumbuhkan masing-masing isolat
jamur antagonis (umur 5 hari) yang akan diuji, pada
jarak 3 cm (diameter cawan petri = 9cm) dari patogen.
Medium yang hanya diinokulasi dengan patogen saja
(Fusarium sp. atau tanpa perlakuan) berfungsi sebagai
kontrol. Assay masing-masing antagonis dilakukan
sebanyak 3 kali ulangan.
ANALISIS DATA
Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis
secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam
(ANOVA), dan bila hasilnya berbeda nyata pada p<0,05,
maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan.
HASIL
Isolasi Jamur Patogen
Berdasarkan uji Postulat Koch, pada penelitian ini
teridentifikasi dua jenis jamur patogen, yaitu Fusarium
oxysporum isolat A dan B (Gambar 1). Kedua patogen
ini diduga sebagai penyebab layu pada tanaman kentang.
Pada Gambar 1 terlihat koloni Fusarium oxysporum
isolat A memiliki warna putih pucat kekuningan dengan
spora berwarna putih. Sementara itu, koloni Fusarium
oxysporum isolat B berwarna keunguan (violet) dengan
warna spora putih.
Secara mikroskopis, kedua spesies Fusarium
oxysporum ini memiliki lebih banyak persamaan hanya
saja pada jumlah makrokonidia dan bentuk mikrokonidia
terdapat sedikit perbedaan (Tabel 1).
39
Isolasi dan Identifikasi Jamur Penyebab Penyakit Layu dan Antagonisnya Pada Tanaman Kentang yang Dibudidayakan di Bedugul, Bali [Ida Ayu Putu Suryanti, Ydkk.]
Gambar 1. Morfologi Jamur Fusarium oxysporum: (G). Fusarium oxysporum
isolat A; (I). Fusarium oxysporum isolat B.
Tabel 1. Karakteristik Isolat Jamur Fusarium oxysporum yang Diisolasi dari
Bagian Tanaman Kentang yang Terserang Penyakit
No Keterangan Fusarium oxysporum
isolat A
Fusarium oxysporum
isolat B
1. Bagian yang terlihat
bergejala sakit (pada
tanaman kentang)
daun daun, batang, umbi
dan rhizosphere
tanaman
2. Warna koloni putih pucat
kekuningan
putih keunguan
3. Diameter koloni (hari ke-
5) di PDA
± 4,8 cm ± 4,4 cm
4. Warna pigmen putih pucat
kekuningan
ungu (violet)
5. Warna spora putih putih
6. Bentuk miselia seperti kapas seperti kapas, lebih
dari 7 hari menjadi
beludru
7. Makrokonidia :
- bentuk
- ukuran
- jumlah septa
seperti bulan sabit
21,0-30,0 x 3,0-4,2
μm
3-5 septa
seperti bulan sabit
21,0-30,0 x 3,0-4,2 μm
3 septa
8. Mikrokonidia :
- bentuk
- ukuran
- jumlah septa
lonjong seperti
ginjal;
± 5,0-10,0 x 2,2-2,7
μm
0-1 septa
bulat lonjong (ovoid);
± 7,0-12,0 x 2,5-3,5
μm
0-1 septa
9. Klamidospora :
- bentuk
- diameter
membulat
9 - 12 μm
membulat
10 - 12 μm
Isolasi Jamur Antagonis dari Rhizosphere Tanaman
Kentang
Hasil isolasi jamur antagonis dari daerah rhizosphere
tanaman kentang diperoleh sebanyak tiga isolat jamur
yaitu dua isolat dari genus Trichoderma dan yang
merupakan genus Aspergilus. Karakteristik ketiga jamur
antagonis tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.
Jamur Trichoderma spp. dengan kode TA dan TB
berturut-turut berwarna hijau tua dan hijau muda dengan
Tabel 2. Karakteristik Isolat Jamur Antagonis yang Diisolasi dari Rhizosphere Tanaman Kentang di Bedugul, Bali
Isolat Sumber Isolat
Koloni
Struktur Spora Aseksual
Bentuk Warna
Trichoderma spp. (TA) hasil isolasi rhizosphere
tanaman kentang di
Bedugul, Bali
permukaan
timbul,teksturnya halus,
pertumbuhan menyebar
menutupi cawan, hifanya
bersekat
hijau muda pada
mulanya dan menjadi
hijau lumut tua (dark
green). Pigmentasi : abuabu
kehitaman
konidia berbentuk bulat dan berkumpul diujung
fialid yang berbentuk menyerupai botol, dengan
percabangan yang tidak teratur
Trichoderma spp. (TB) hasil isolasi rhizosphere
tanaman kentang di
Bedugul, Bali
permukaan timbul,
teksturnya halus,
membentuk zona, hifa
bersekat
hijau muda (soft green)
keputihan. Pigmentasi
putih keabu-abuan
konidia berkumpul diujung fialid dengan bentuk
menyerupai botol, dengan percabangan yang tidak
teratur
Aspergillus niger (An) hasil isolasi rhizosphere
tanaman kentang di
Bedugul, Bali
permukaan timbul,
tekstur halus, hifa
bergranula
koloni berwarna hitam.
Pigmentasi berwarna
putih kekuningan
konidia berbentuk bulat dengan tonjolan dan duriduri
tidak teratur,vesikula berbentuk bulat, fialid
mempunyai ukuran 7,2 -9,0 x 3,0-4,0 μm.
beberapa persamaan secara mikroskopis. Persamaan
yang juga merupakan kekhasan dari genus Trichoderma
adalah konidia berbentuk bulat dan berkumpul di ujung
fialid yang menyerupai botol.
Dual Culture Assay antara Jamur Antagonis
dengan Patogen Fusarium oxysporum isolat A
dan B
Persentase daya hambat in vitro jamur antagonis yang
diisolasi dari rhizosphere tanaman kentang terhadap
Fusarium oxysporum ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase Daya Hambat in vitro Jamur Antagonis Terhadap Jamur
Patogen Penyebab Layu Fusarium
Jamur Antagonis
Daya Hambat (%)**
Fusarium oxysporum
isolat A.
(FA)
Fusarium oxysporum
isolat B.
(FB)
Kontrol 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a
Trichoderma spp.(TA) 48,61 ± 2,12b 75,76 ± 2,62b
Trichoderma spp (TB) 43,98 ± 1,60c 53,03 ± 4,01c
Aspergilus niger (An) 36,57 ± 2,12d 37,37 ± 3,50e
** Nilai-nilai pada tabel ± standar deviasi merupakan rata-rata dari tiga kali ulangan.
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(p< 0,05), berdasarkan uji Duncan setelah dilakukan analisis sidak ragam (ANOVA)
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa semua
agen biokontrol dapat menghambat pertumbuhan
jamur patogen (FA dan FB) dengan level hambatan
yang bervariasi tergantung pada jenis antagonis yang
dipakai dalam assay. Besarnya persentase hambatan
yang ditimbulkan oleh semua antagonis berbeda sangat
nyata secara statistik pada p<0,05, jika dibandingkan
dengan kontrol pada semua kasus (Tabel 3 pada kedua
kolom). Trichoderma spp. Isolat A dan B secara konsisten
menunjukkan persentase hambatan yang paling besar
jika dibandingkan dengan Aspergillus niger.
PEMBAHASAN
Berdasarkan uji Postulat Koch, terdapat kesamaan
yang dimiliki oleh kedua isolat jamur Fusarium sp.
tersebut antara lain: bentuk, ukuran, dan jumlah septa
makrokonidia, mikrokonidia, serta klamidospora (Tabel
1). Berdasarkan pada kesamaan karakteristik yang
dimiliki oleh kedua jamur tersebut, maka keduanya
merupakan spesies yang sama, yaitu Fusarium
oxysporum, walaupun ada kemungkinan kedua spesies
Jurnal Biologi Volume XVI I No.1 JUNI 2013
40
jamur tersebut merupakan strain yang berbeda.
Kedua isolat ini merupakan jamur yang ditemukan
paling sering menyebabkan penyakit pada tanaman,
khususnya kentang di daerah Bedugul. Menurut
Wayan Ada (pers.com 2012), jamur ini sudah diketahui
menyerang tanaman kentang di sentra budidaya kentang
Bedugul sejak tahun 1985.
Penyakit layu tanaman yang disebabkan oleh jamur ini,
tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi penyebarannya
merata hampir ke seluruh lahan pertanian (Fuglie,
2000; Pandey, 2008). Selain menyerang tanaman
kentang, patogen ini juga sering ditemukan menyerang
tanaman pisang, tomat, cabai, jagung, lili dan bawang
daun (Samsyuddin, 2003; Fitriani dan Rianasari, 2009;
Bouziane et al., 2011; Nuryani et al., 2011). Oleh karena
itu, kelompok jamur Fusarium dapat diisolasi dari
berbagai tanaman yang terinfeksi oleh jamur tersebut.
Jamur Fusarium penyebab penyakit layu pada tanaman
kentang ini sangat sulit diberantas atau dieliminasi dari
lahan yang terinfeksi, karena keberadaannya sering dalam
bentuk spora yang sangat resisten terhadap lingkungan
yang ekstrim, seperti daerah yang miskin nutrien atau
sangat kering (Agrios, 1996). Menurut Wharton et al.
(2007) dalam keadaan bebas, spora jamur ini dapat
bertahan di dalam tanah dalam waktu yang sangat
panjang. Secara umum penularan penyakit ini melalui
tanah, sehingga jamur ini merupakan salah satu anggota
dari soil-borne pathogens (Subba rao, 2010).
Genus Trichoderma merupakan kelompok jamur
saprofit dan dapat berkembang cepat di daerah perakaran.
Jamur ini tidak sepenuhnya bergantung pada tanaman
melainkan dapat juga hidup dengan cara mendegradasi
berbagai macam substrat. Salah satunya adalah selulosa
sehingga jamur ini dikenal dengan sebutan cellulolytic
ascomycetes (Handayanto dan Hairiah, 2007).
Selain cellulolytic enzymes, Trichoderma spp. juga
mampu menghasilkan enzim-enzim lain, seperti pectinase
(Metcalf, 1997), chitinase, dan β (1,3) glukanase
(Kurniawan et al., 2006; Imas dan Setiadi, 1987
dalam Mukarlina et al., 2010). Karena kemampuannya
menghasilkan berbagai jenis lytic enzymes ini, maka
kelompok jamur ini banyak dieksploitasi menjadi agen
biokontrol.
Pada penelitian ini genus Aspergillus juga berhasil
diisolasi. Jamur ini juga menunjukkan sifat antagonis
terhadap penyebab penyakit layu pada tanaman kentang.
Menurut Agrios (1996) jamur ini dapat dijumpai hampir
di seluruh tempat sehingga sering dikenal dengan sebutan
jamur kosmopolit. Jamur ini banyak ditemukan di daerah
rhizosphere dan dapat berasosiasi dengan permukaan
akar (Subba rao, 2010).
Pada penelitian ini, isolat Trichoderma yang dipakai
tampak secara nyata dapat menghambat laju pertumbuhan
jamur patogen Fusarium oxysporum secara in vitro
(Tabel 3). Menurut Soesanto (2008) dalam beberapa
kasus antagonisme, miselium Trichoderma spp. dapat
melampaui pertumbuhan jamur patogen, membelit di
sekeliling hifa patogen, dan selanjutnya melakukan
penetrasi dengan melubangi atau memecah dinding sel
Fusarium oxysporum yang mengandung kitin dengan
enzim chitinase. Hal ini dapat mengakibatkan kematian
pada jamur patogen.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan
adalah terdapat dua jenis jamur patogen yaitu Fusarium
oxysporum isolat A dan B yang menyebabkan layu
pada tanaman kentang yang dibudidayakan di Desa
Candikuning Bedugul, Bali. Sedangkan Jamur yang
berpotensi antagonis terhadap Fusarium oxysporum
tersebut antara lain Trichoderma sp. isolat A,
Trichoderma isolat B, dan Aspergillus niger.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu penelitian ini, khususnya
kepada Bapak Wayan Ada dan keluarga di Desa
Candikuning Bedugul, Bali, atas bantuannya dalam
penyediaan bibit kentang dan glasshouse. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ida Bagus Gede
Darmayasa, Ibu Ni Putu Adriani Astiti, Bapak Yohanes
Setiyo dan Ibu Retno Kawuri atas kritik dan saran yang
diberikan dalam penulisan makalah ini.
KEPUSTAKAAN
Agrios, G. N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan: Edisi Ketiga. Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press.
Ayed, F., M., D. Remadi, H. J. Khiareddine and M. E. Mahjoub,
2006. Potato Vascular Fusarium wilt in Tunisia: Incidence
and Biocontrol by Trichoderma spp.. Plant Pathology Journal
5: 92-98.
Benhamou, N. and I. Chet. 1993. Hyphal Interaction between
Trichoderma harzianum and Rhizoctonia solani: Ultra
structure and cytochemistry of The Antagonist Process.
Phytopathology Journal 83: 161-171.
Bouziane, Z., L.Dehimat, W.Abdel aziz, M. Benabdelkader, N.Kacem
chaouche. 2011. The antagonism between Trichoderma
viride and other pathogenic fungal strains in Zea mays. Argiculture
and Biology Journal of North America 2(4): 84-90.
Burnett, F and S. Oxley. 2010. Potato Storage Diseases. SAC Journal, University
of Idaho, UK.
Fitriani, A dan A. Rianasari. 2009. Penghambatan Pertumbuhan
Fusarium sp. Isolat Kalimantan Asal Bawang Daun Oleh
Trichoderma spp. Secara In Vitro. Jurnal Biosainstifika 1(2):
147-156. ISSN 1979-6900.
Fuglie, K.O. 2000. Priorities for Potatoes Research in Developing
Countries: Results of a Survey. American Journal Potato
84: 353-365.
Gandjar, I., R.A. Samson, Tweel-Vermeulen V.D, A. Oerati, dan I.
Santoso. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia.
Handayanto, E., dan K. Hairiah. 2007. Biologi Tanah : Landasan
Pengelolaan Tanah Sehat. Yogyakarta : Penerbit Pusaka
Adipura.
Hasanuddin. 2003. “Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam
Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu”
(Tesis). Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Khoirunnisya. 2009. “Potensi Bakterisida Senyawa Metabolit Penicillium
spp. Terhadap Ralstonia solanacearum Penyebab
Penyakit Layu Bakteri pada Cabai”. (Skripsi). Bogor : Fakultas
41
Isolasi dan Identifikasi Jamur Penyebab Penyakit Layu dan Antagonisnya Pada Tanaman Kentang yang Dibudidayakan di Bedugul, Bali [Ida Ayu Putu Suryanti, Ydkk.]
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kurniawan, A., N. Prihatiningsih, L. Soesanto. 2006. Potensi Trichoderma
harzianum dalam Mengendalikan Sembilan Isolat
Fusarium oxysporum Schlecht. f. sp. zingiber Trujillo pada
Kencur. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 8(2) : 76-84.
Metcalf, D.A. 1997. “Biological Control of Union White Root Rot”
(Thesis). School of Agriculture Science. Australia: The University
of Tazmania.
Mukarlina, S. Khotimah, R. Rianti. 2010. Uji Antagonis Trichoderma
Harzianum terhadap Fusarium spp. Penyebab Penyakit
Layu pada Cabai (Capsicum annum) Secara In vitro. Jurnal
Fitomedika 2(7): 80-85.
Nuryani, W.E., S. Yusuf, Hanudin, I. Djatmika dan B.Marwoto.
2011. Pengendalian Layu Fusarium dengan Menggunakan
Mikroba Antagonis dan Tanaman Resister pada Lili. Jurnal
Hortikultura 21(4) : 338-343.
Pandey, B.P. 2008. Plant Pathology: Pathogen and Plant Disease.
S.Chand & Company Ltd. pp 109-124.
Rubatsky, V.E., dan Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 2. Prinsip,
Produksi dan Gizi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Rukmana, H. R. 1997. Kentang: Budidaya dan Pasca Panen.
Yogyakarta: Kanisius.
Samadi, B. 2007. Kentang dan analisis Usaha Tani. Yogyakarta
: Kanisius.
Samson, R.A., E.S. Hoekstra and C.A.N. Van Oorschot. 1995.
Introduction To Food-Borne Fungi. Institute of The Royal
Netherlands Academic of Arts and Sciences.
Samsyuddin. 2003. Pengendalian Penyakit Terbawa Benih
(Seedborn Disease) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum)
Menggunakan Agen Biokontrol Dan Ekstrak Botani.
[cited 2012 December 15]. Available from : www.tumotou.
net/702_07134/samsyuddin.htm
Shim, Y. K. , S.P. Mlynarek, and E. Wijngaarden. 2009. Parental
Exposure to Pesticides and Childhood Brain Cancer: U.S.
Atlantic Coast Childhood Brain Cancer Study, Environmental
Health Perspectives 117(6).
Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendali Hayati Penyakit Tanaman.
Jakarta : Rajawali Press.
Subba rao, N.S. 2010. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan
Tanaman. Jakarta : Penerbit UI-Press.
Suhardi. 1993. Dinamika Populasi Busuk Daun, Phytophthora infestans
pada Kentang di Kebun Percobaan Segunung. Buletin
Penelitian Hortikultura 10(1) : 36-44.
Sutikno, S. 1992. Dasar-Dasar Pestisida dan Dampak Penggunaannya.
Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Warda. 2008. Hama dan Penyakit pada Tanaman Kentang di Kabupaten
Gowa Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Selawesi selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan
Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi
Selatan : 397-401.
Wharton, P., W. Kirk, D. Berry, and S. Snapp. 2007. Rhizoctonia
Stem Cancer and Black Scurf of Potato, Potato Disease. Michigan
State University Extention Bulletin. [cited 2012 June 29].
Availablefrom:http://www.potatodisease.org/pdf/rhizoctoniabulletin.
pdf.

Jurnal Biologi

37
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI JAMUR PENYEBAB PENYAKIT LAYU DAN ANTAGONISNYA
PADA TANAMAN KENTANG YANG DIBUDIDAYAKAN DI BEDUGUL, BALI
ISOLATION AND IDENTIFICATION OF THE CAUSATIVE AGENTS OF WILTING
AND THEIR ANTAGONISTICS IN POTATO PLANTS CULTIVATED IN BEDUGUL, BALI
Ida Ayu Putu Suryanti1, Yan Ramona2,3, Meitini W Proborini3
1Magister Program Studi Biologi, Universitas Udayana
2UPT. Lab. Biosain dan Bioteknologi, Universitas Udayana
3Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Udayana
Email: dayusuryanti@yahoo.co.id
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jamur penyebab penyakit layu pada tanaman kentang dan mengisolasi
antagonisnya dari daerah rhizosphere tanaman tersebut yang dibudidayakan di Desa Candikuning, Bedugul, Bali.
Untuk mendeteksi patogen penyebab penyakit tersebut, pada penelitian diterapkan Postulat Koch. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Fusarium oxysporum isolat A dan B merupakan dua isolat yang terindikasi sebagai penyebab
penyakit layu pada tanaman kentang. Pada penelitian ini tiga isolat jamur antagonis (Trichoderma spp. isolat A,
Trichoderma spp. isolat B, dan Aspergillus niger) berhasil diisolasi dari daerah rhizosphere tanaman kentang.
Uji antagonis (in vitro) dengan menggunakan dual culture assay menunjukkan semua antagonis menghambat
pertumbuhan jamur patogen Fusarium dengan persentase hambatan yang bervariasi antara 36,57 - 75,76%.
Trichoderma spp. isolat A menunjukkan hasil terbaik dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen, dengan
persentase hambatan sebesar 75,76%. Sementara itu, persentase hambatan terkecil (36,57%) pada patogen teramati
pada Aspergillus niger.
Kata kunci: tanaman kentang, Fusarium oxysporum, Trichoderma spp., Aspergillus niger.
ABSTRACT
The main objectives of this research were to investigate the causative agents of wilting in potato and isolate
their antagonists from the rhizosphere zone of this plant, ciltivated in Candikuning village, Bedugul, Bali. Koch
Postulate was applied in the identification of the pathogens. The results showed that two isolates of Fusarium
oxysporum (isolate A and B) were identified to be the main cause of the disease. Three isolates of antagonists of
the disease causative agents, namely Trichoderma spp. isolates A, Trichoderma spp. isolates B, and Aspergillus
niger, were successfully isolated in this research from the rhizosphere zone of infected plants. All antagonists
were found to be effective to control the fungal pathogens in vitro (by dual culture assay) with various degree of
inhibitions, ranging from 36.57% to 75.76 %. Trichoderma spp. isolate A was found to be the most effective one
to inhibit the growth of pathogens in vitro, with the percentage of inhibition of 75.76%, while the lowest inhibition
was observed on Aspergillus niger, with the percentage of inhibition of 36.57 %.
Keywords : potato plants, Fusarium oxysporum, Trichoderma spp., Aspergillus niger.
PENDAHULUAN
Kentang merupakan bahan pangan utama keempat di
dunia, setelah gandum, jagung dan padi. Di Indonesia,
kentang (Solanum tuberosum L.) termasuk salah satu
bahan pangan alternatif yang mulai dikembangkan pada
bidang pertanian dan banyak digunakan sebagai bahan
baku dalam industri olahan makanan (Rubatzky dan
Yamaguci, 1998; Fuglie, 2000; Samadi, 2007).
Tingginya nilai gizi dan banyaknya permintaan di
pasaran Indonesia menyebabkan kentang mulai banyak
diproduksi pada daerah yang kurang produktif (Rubatzky
dan Yamaguci, 1998). Masalah yang paling sering
dihadapi oleh petani dalam budidaya kentang adalah
tidak tersedianya bibit yang tahan terhadap serangan
penyakit, sehingga produktivitasnya menjadi sangat
rendah (Suhardi, 1993; Rukmana, 1997).
Menurut Burnett dan Oxley (2010), penyakit yang
paling banyak menyerang tanaman kentang adalah
penyakit layu yang disebabkan oleh jamur patogen.
Phytopthora infestan dan Fusarium sp. pernah dilaporkan
sebagai penyebab penyakit layu yang menyerang tanaman
kentang di sebagian besar daerah di Tunisia (Ayed et
al., 2006). Gejala layu umumnya dimulai dari daun yang
lokasinya di bawah dan selanjutnya berkembang ke arah
atas akibat pangkal batang mulai membusuk. Daun yang
layu akan menguning dan akhirnya mengering, walaupun
daun pucuknya tetap tampak hijau (Warda, 2008).
Untuk menanggulangi penyakit layu, sampai saat
Jurnal Biologi XVII (2) : 37 - 41 ISSN : 1410 5292
Jurnal Biologi Volume XVI I No.1 JUNI 2013
38
ini petani kentang di Bedugul mengandalkan fungisida
berbasis bahan kimia. Dalam berbagai penelitian, bahan
kimia yang dipakai mempunyai berbagai efek negatif
pada manusia dan hewan, seperti berbagai macam
penyakit berbahaya antara lain kanker dan cacat tubuh
(Shim et al., 2009), kemandulan (Sutikno, 1992),
dan kematian (Soesanto, 2008). Untuk mengurangi
penggunaan fungisida berbasis bahan kimia, dalam dua
dekade ini mulai dikembangkan metoda alternatif, salah
satunya adalah penggunaan musuh alami dari patogen
tersebut (Hassanudin, 2003). Penelitian Khoirunisya
(2009) menyatakan Trichoderma spp. dan Penicillium
spp. mempunyai sifat antagonis terhadap jamur patogen.
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka
pada penelitian ini dilakukan isolasi dan identifikasi
patogen (penyebab layu pada tanaman kentang) dan
antagonisnya dari daerah rhizosphere tanaman kentang
yang dibudidayakan di Bedugul, Bali. Selain itu, uji in
vitro dengan menggunakan dual culture assay untuk
mengetahui persentase daya hambat antagonis terhadap
patogen juga dilakukan pada penelitian ini.
MATERI DAN METODE
Isolasi dan Identifikasi Jamur Patogen
Isolasi patogen dilakukan dengan cara memotong
bagian yang terinfeksi (daun dan batang) dengan
ukuran sekitar 1x1cm, dicelupkan ke dalam beaker
glass yang berisi alkohol 70% selama 2 menit untuk
menghilangkan kontaminasi pada bagian luarnya,
kemudian dibilas dengan cara mencelupkan ke dalam
akuades steril sebanyak 3 kali. Setelah itu diletakkan
pada permukaan media Potato Dextrose Agar (PDA)
yang telah diisi antibiotik cloramfenikol (100 mg/L)
(Samson et al., 1995), dan diinkubasikan selama 5
hari pada suhu 27-280C. Miselium jamur yang tumbuh
selanjutnya direisolasi pada media PDA dan Malt Exract
Agar (MEA) baru, sampai diperoleh isolat jamur yang
diduga sebagai penyebab penyakit layu pada tanaman
kentang. Selanjutnya dilakukan identifikasi awal secara
makroskopis dengan melihat warna, bentuk (miselia),
dan pigmentasi koloni serta mengukur diameternya
untuk mencocokkannya dengan referensi. Sedangkan
identifikasi mikroskopis dilakukan setelah Postulat Koch.
Prosedur Postulat Koch
Jamur patogen yang telah diisolasi dari tanaman
kentang yang terinfeksi, diinokulasikan pada tanaman
kentang sehat yang berumur 3 minggu, kemudian
diamati gejala penyakit yang muncul. Gejala penyakit
yang muncul harus sama dengan yang diamati pada
tanaman kentang yang terinfeksi, dimana patogen
tersebut diisolasi. Setelah itu, dilakukan isolasi kembali
dari tanaman yang bergejala sakit tersebut.
Jamur yang diisolasi harus mempunyai karakteristik
yang sama dengan yang dimiliki oleh patogen sebelumnya.
Setelah diperoleh jamur yang pasti sebagai patogen, maka
dilakukan identifikasi secara mikroskopis (bentuk dan
ukuran makrokonida, mikrokonidia dan klamidospora)
untuk disesuaikan dengan ciri dan karakteristik yang
terdapat pada buku “Pengenalan Kapang Tropik Umum”
(Gandjar et al., 1999).
Isolasi Jamur Antagonis
Isolasi antagonis diawali dengan mengambil sampel
tanah dari daerah perakaran (rhizosphere) tanaman
kentang di Desa Candikuning Bedugul, Bali. Selanjutnya,
sebanyak 10 gram sampel tersebut dilarutkan dalam 90
ml air steril untuk mendapatkan tingkat pengenceran
sebesar 10 kali (10-1). Sampel ini kemudian diencerkan
lebih lanjut sampai diperoleh tingkat pengenceran
tertinggi sebesar 10-6. Kemudian, sebanyak 1 ml sampel
dengan tingkat pengenceran sebesar 10-1 sampai 10-6
disebar pada permukaan media PDA yang diisi antibiotik
cloramfenikol (100 mg/L), diinkubasi pada suhu kamar
selama 2-5 hari, selanjutnya koloni tunggal yang tumbuh
dimurnikan pada media PDA dan MEA, dan disimpan.
Setelah itu dilakukan identifikasi dengan prosedur yang
sama dengan jamur patogen.
Uji Antagonis (in vitro) Jamur Antagonis terhadap
patogen (Fusarium sp.)
Uji antagonisme dilakukan dengan dual culture assay
seperti yang dilaporkan oleh Benhamou dan Chet (1993).
Ujung hifa Fusarium sp. yang berumur 5 hari diambil
dengan alat pelubang gabus (cork borer) yang berdiameter
6 mm dan dipindahkan ke medium PDA. Pada waktu
yang bersamaan ditumbuhkan masing-masing isolat
jamur antagonis (umur 5 hari) yang akan diuji, pada
jarak 3 cm (diameter cawan petri = 9cm) dari patogen.
Medium yang hanya diinokulasi dengan patogen saja
(Fusarium sp. atau tanpa perlakuan) berfungsi sebagai
kontrol. Assay masing-masing antagonis dilakukan
sebanyak 3 kali ulangan.
ANALISIS DATA
Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis
secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam
(ANOVA), dan bila hasilnya berbeda nyata pada p<0,05,
maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan.
HASIL
Isolasi Jamur Patogen
Berdasarkan uji Postulat Koch, pada penelitian ini
teridentifikasi dua jenis jamur patogen, yaitu Fusarium
oxysporum isolat A dan B (Gambar 1). Kedua patogen
ini diduga sebagai penyebab layu pada tanaman kentang.
Pada Gambar 1 terlihat koloni Fusarium oxysporum
isolat A memiliki warna putih pucat kekuningan dengan
spora berwarna putih. Sementara itu, koloni Fusarium
oxysporum isolat B berwarna keunguan (violet) dengan
warna spora putih.
Secara mikroskopis, kedua spesies Fusarium
oxysporum ini memiliki lebih banyak persamaan hanya
saja pada jumlah makrokonidia dan bentuk mikrokonidia
terdapat sedikit perbedaan (Tabel 1).
39
Isolasi dan Identifikasi Jamur Penyebab Penyakit Layu dan Antagonisnya Pada Tanaman Kentang yang Dibudidayakan di Bedugul, Bali [Ida Ayu Putu Suryanti, Ydkk.]
Gambar 1. Morfologi Jamur Fusarium oxysporum: (G). Fusarium oxysporum
isolat A; (I). Fusarium oxysporum isolat B.
Tabel 1. Karakteristik Isolat Jamur Fusarium oxysporum yang Diisolasi dari
Bagian Tanaman Kentang yang Terserang Penyakit
No Keterangan Fusarium oxysporum
isolat A
Fusarium oxysporum
isolat B
1. Bagian yang terlihat
bergejala sakit (pada
tanaman kentang)
daun daun, batang, umbi
dan rhizosphere
tanaman
2. Warna koloni putih pucat
kekuningan
putih keunguan
3. Diameter koloni (hari ke-
5) di PDA
± 4,8 cm ± 4,4 cm
4. Warna pigmen putih pucat
kekuningan
ungu (violet)
5. Warna spora putih putih
6. Bentuk miselia seperti kapas seperti kapas, lebih
dari 7 hari menjadi
beludru
7. Makrokonidia :
- bentuk
- ukuran
- jumlah septa
seperti bulan sabit
21,0-30,0 x 3,0-4,2
μm
3-5 septa
seperti bulan sabit
21,0-30,0 x 3,0-4,2 μm
3 septa
8. Mikrokonidia :
- bentuk
- ukuran
- jumlah septa
lonjong seperti
ginjal;
± 5,0-10,0 x 2,2-2,7
μm
0-1 septa
bulat lonjong (ovoid);
± 7,0-12,0 x 2,5-3,5
μm
0-1 septa
9. Klamidospora :
- bentuk
- diameter
membulat
9 - 12 μm
membulat
10 - 12 μm
Isolasi Jamur Antagonis dari Rhizosphere Tanaman
Kentang
Hasil isolasi jamur antagonis dari daerah rhizosphere
tanaman kentang diperoleh sebanyak tiga isolat jamur
yaitu dua isolat dari genus Trichoderma dan yang
merupakan genus Aspergilus. Karakteristik ketiga jamur
antagonis tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.
Jamur Trichoderma spp. dengan kode TA dan TB
berturut-turut berwarna hijau tua dan hijau muda dengan
Tabel 2. Karakteristik Isolat Jamur Antagonis yang Diisolasi dari Rhizosphere Tanaman Kentang di Bedugul, Bali
Isolat Sumber Isolat
Koloni
Struktur Spora Aseksual
Bentuk Warna
Trichoderma spp. (TA) hasil isolasi rhizosphere
tanaman kentang di
Bedugul, Bali
permukaan
timbul,teksturnya halus,
pertumbuhan menyebar
menutupi cawan, hifanya
bersekat
hijau muda pada
mulanya dan menjadi
hijau lumut tua (dark
green). Pigmentasi : abuabu
kehitaman
konidia berbentuk bulat dan berkumpul diujung
fialid yang berbentuk menyerupai botol, dengan
percabangan yang tidak teratur
Trichoderma spp. (TB) hasil isolasi rhizosphere
tanaman kentang di
Bedugul, Bali
permukaan timbul,
teksturnya halus,
membentuk zona, hifa
bersekat
hijau muda (soft green)
keputihan. Pigmentasi
putih keabu-abuan
konidia berkumpul diujung fialid dengan bentuk
menyerupai botol, dengan percabangan yang tidak
teratur
Aspergillus niger (An) hasil isolasi rhizosphere
tanaman kentang di
Bedugul, Bali
permukaan timbul,
tekstur halus, hifa
bergranula
koloni berwarna hitam.
Pigmentasi berwarna
putih kekuningan
konidia berbentuk bulat dengan tonjolan dan duriduri
tidak teratur,vesikula berbentuk bulat, fialid
mempunyai ukuran 7,2 -9,0 x 3,0-4,0 μm.
beberapa persamaan secara mikroskopis. Persamaan
yang juga merupakan kekhasan dari genus Trichoderma
adalah konidia berbentuk bulat dan berkumpul di ujung
fialid yang menyerupai botol.
Dual Culture Assay antara Jamur Antagonis
dengan Patogen Fusarium oxysporum isolat A
dan B
Persentase daya hambat in vitro jamur antagonis yang
diisolasi dari rhizosphere tanaman kentang terhadap
Fusarium oxysporum ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase Daya Hambat in vitro Jamur Antagonis Terhadap Jamur
Patogen Penyebab Layu Fusarium
Jamur Antagonis
Daya Hambat (%)**
Fusarium oxysporum
isolat A.
(FA)
Fusarium oxysporum
isolat B.
(FB)
Kontrol 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a
Trichoderma spp.(TA) 48,61 ± 2,12b 75,76 ± 2,62b
Trichoderma spp (TB) 43,98 ± 1,60c 53,03 ± 4,01c
Aspergilus niger (An) 36,57 ± 2,12d 37,37 ± 3,50e
** Nilai-nilai pada tabel ± standar deviasi merupakan rata-rata dari tiga kali ulangan.
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(p< 0,05), berdasarkan uji Duncan setelah dilakukan analisis sidak ragam (ANOVA)
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa semua
agen biokontrol dapat menghambat pertumbuhan
jamur patogen (FA dan FB) dengan level hambatan
yang bervariasi tergantung pada jenis antagonis yang
dipakai dalam assay. Besarnya persentase hambatan
yang ditimbulkan oleh semua antagonis berbeda sangat
nyata secara statistik pada p<0,05, jika dibandingkan
dengan kontrol pada semua kasus (Tabel 3 pada kedua
kolom). Trichoderma spp. Isolat A dan B secara konsisten
menunjukkan persentase hambatan yang paling besar
jika dibandingkan dengan Aspergillus niger.
PEMBAHASAN
Berdasarkan uji Postulat Koch, terdapat kesamaan
yang dimiliki oleh kedua isolat jamur Fusarium sp.
tersebut antara lain: bentuk, ukuran, dan jumlah septa
makrokonidia, mikrokonidia, serta klamidospora (Tabel
1). Berdasarkan pada kesamaan karakteristik yang
dimiliki oleh kedua jamur tersebut, maka keduanya
merupakan spesies yang sama, yaitu Fusarium
oxysporum, walaupun ada kemungkinan kedua spesies
Jurnal Biologi Volume XVI I No.1 JUNI 2013
40
jamur tersebut merupakan strain yang berbeda.
Kedua isolat ini merupakan jamur yang ditemukan
paling sering menyebabkan penyakit pada tanaman,
khususnya kentang di daerah Bedugul. Menurut
Wayan Ada (pers.com 2012), jamur ini sudah diketahui
menyerang tanaman kentang di sentra budidaya kentang
Bedugul sejak tahun 1985.
Penyakit layu tanaman yang disebabkan oleh jamur ini,
tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi penyebarannya
merata hampir ke seluruh lahan pertanian (Fuglie,
2000; Pandey, 2008). Selain menyerang tanaman
kentang, patogen ini juga sering ditemukan menyerang
tanaman pisang, tomat, cabai, jagung, lili dan bawang
daun (Samsyuddin, 2003; Fitriani dan Rianasari, 2009;
Bouziane et al., 2011; Nuryani et al., 2011). Oleh karena
itu, kelompok jamur Fusarium dapat diisolasi dari
berbagai tanaman yang terinfeksi oleh jamur tersebut.
Jamur Fusarium penyebab penyakit layu pada tanaman
kentang ini sangat sulit diberantas atau dieliminasi dari
lahan yang terinfeksi, karena keberadaannya sering dalam
bentuk spora yang sangat resisten terhadap lingkungan
yang ekstrim, seperti daerah yang miskin nutrien atau
sangat kering (Agrios, 1996). Menurut Wharton et al.
(2007) dalam keadaan bebas, spora jamur ini dapat
bertahan di dalam tanah dalam waktu yang sangat
panjang. Secara umum penularan penyakit ini melalui
tanah, sehingga jamur ini merupakan salah satu anggota
dari soil-borne pathogens (Subba rao, 2010).
Genus Trichoderma merupakan kelompok jamur
saprofit dan dapat berkembang cepat di daerah perakaran.
Jamur ini tidak sepenuhnya bergantung pada tanaman
melainkan dapat juga hidup dengan cara mendegradasi
berbagai macam substrat. Salah satunya adalah selulosa
sehingga jamur ini dikenal dengan sebutan cellulolytic
ascomycetes (Handayanto dan Hairiah, 2007).
Selain cellulolytic enzymes, Trichoderma spp. juga
mampu menghasilkan enzim-enzim lain, seperti pectinase
(Metcalf, 1997), chitinase, dan β (1,3) glukanase
(Kurniawan et al., 2006; Imas dan Setiadi, 1987
dalam Mukarlina et al., 2010). Karena kemampuannya
menghasilkan berbagai jenis lytic enzymes ini, maka
kelompok jamur ini banyak dieksploitasi menjadi agen
biokontrol.
Pada penelitian ini genus Aspergillus juga berhasil
diisolasi. Jamur ini juga menunjukkan sifat antagonis
terhadap penyebab penyakit layu pada tanaman kentang.
Menurut Agrios (1996) jamur ini dapat dijumpai hampir
di seluruh tempat sehingga sering dikenal dengan sebutan
jamur kosmopolit. Jamur ini banyak ditemukan di daerah
rhizosphere dan dapat berasosiasi dengan permukaan
akar (Subba rao, 2010).
Pada penelitian ini, isolat Trichoderma yang dipakai
tampak secara nyata dapat menghambat laju pertumbuhan
jamur patogen Fusarium oxysporum secara in vitro
(Tabel 3). Menurut Soesanto (2008) dalam beberapa
kasus antagonisme, miselium Trichoderma spp. dapat
melampaui pertumbuhan jamur patogen, membelit di
sekeliling hifa patogen, dan selanjutnya melakukan
penetrasi dengan melubangi atau memecah dinding sel
Fusarium oxysporum yang mengandung kitin dengan
enzim chitinase. Hal ini dapat mengakibatkan kematian
pada jamur patogen.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan
adalah terdapat dua jenis jamur patogen yaitu Fusarium
oxysporum isolat A dan B yang menyebabkan layu
pada tanaman kentang yang dibudidayakan di Desa
Candikuning Bedugul, Bali. Sedangkan Jamur yang
berpotensi antagonis terhadap Fusarium oxysporum
tersebut antara lain Trichoderma sp. isolat A,
Trichoderma isolat B, dan Aspergillus niger.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu penelitian ini, khususnya
kepada Bapak Wayan Ada dan keluarga di Desa
Candikuning Bedugul, Bali, atas bantuannya dalam
penyediaan bibit kentang dan glasshouse. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ida Bagus Gede
Darmayasa, Ibu Ni Putu Adriani Astiti, Bapak Yohanes
Setiyo dan Ibu Retno Kawuri atas kritik dan saran yang
diberikan dalam penulisan makalah ini.
KEPUSTAKAAN
Agrios, G. N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan: Edisi Ketiga. Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press.
Ayed, F., M., D. Remadi, H. J. Khiareddine and M. E. Mahjoub,
2006. Potato Vascular Fusarium wilt in Tunisia: Incidence
and Biocontrol by Trichoderma spp.. Plant Pathology Journal
5: 92-98.
Benhamou, N. and I. Chet. 1993. Hyphal Interaction between
Trichoderma harzianum and Rhizoctonia solani: Ultra
structure and cytochemistry of The Antagonist Process.
Phytopathology Journal 83: 161-171.
Bouziane, Z., L.Dehimat, W.Abdel aziz, M. Benabdelkader, N.Kacem
chaouche. 2011. The antagonism between Trichoderma
viride and other pathogenic fungal strains in Zea mays. Argiculture
and Biology Journal of North America 2(4): 84-90.
Burnett, F and S. Oxley. 2010. Potato Storage Diseases. SAC Journal, University
of Idaho, UK.
Fitriani, A dan A. Rianasari. 2009. Penghambatan Pertumbuhan
Fusarium sp. Isolat Kalimantan Asal Bawang Daun Oleh
Trichoderma spp. Secara In Vitro. Jurnal Biosainstifika 1(2):
147-156. ISSN 1979-6900.
Fuglie, K.O. 2000. Priorities for Potatoes Research in Developing
Countries: Results of a Survey. American Journal Potato
84: 353-365.
Gandjar, I., R.A. Samson, Tweel-Vermeulen V.D, A. Oerati, dan I.
Santoso. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia.
Handayanto, E., dan K. Hairiah. 2007. Biologi Tanah : Landasan
Pengelolaan Tanah Sehat. Yogyakarta : Penerbit Pusaka
Adipura.
Hasanuddin. 2003. “Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam
Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu”
(Tesis). Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Khoirunnisya. 2009. “Potensi Bakterisida Senyawa Metabolit Penicillium
spp. Terhadap Ralstonia solanacearum Penyebab
Penyakit Layu Bakteri pada Cabai”. (Skripsi). Bogor : Fakultas
41
Isolasi dan Identifikasi Jamur Penyebab Penyakit Layu dan Antagonisnya Pada Tanaman Kentang yang Dibudidayakan di Bedugul, Bali [Ida Ayu Putu Suryanti, Ydkk.]
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kurniawan, A., N. Prihatiningsih, L. Soesanto. 2006. Potensi Trichoderma
harzianum dalam Mengendalikan Sembilan Isolat
Fusarium oxysporum Schlecht. f. sp. zingiber Trujillo pada
Kencur. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 8(2) : 76-84.
Metcalf, D.A. 1997. “Biological Control of Union White Root Rot”
(Thesis). School of Agriculture Science. Australia: The University
of Tazmania.
Mukarlina, S. Khotimah, R. Rianti. 2010. Uji Antagonis Trichoderma
Harzianum terhadap Fusarium spp. Penyebab Penyakit
Layu pada Cabai (Capsicum annum) Secara In vitro. Jurnal
Fitomedika 2(7): 80-85.
Nuryani, W.E., S. Yusuf, Hanudin, I. Djatmika dan B.Marwoto.
2011. Pengendalian Layu Fusarium dengan Menggunakan
Mikroba Antagonis dan Tanaman Resister pada Lili. Jurnal
Hortikultura 21(4) : 338-343.
Pandey, B.P. 2008. Plant Pathology: Pathogen and Plant Disease.
S.Chand & Company Ltd. pp 109-124.
Rubatsky, V.E., dan Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 2. Prinsip,
Produksi dan Gizi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Rukmana, H. R. 1997. Kentang: Budidaya dan Pasca Panen.
Yogyakarta: Kanisius.
Samadi, B. 2007. Kentang dan analisis Usaha Tani. Yogyakarta
: Kanisius.
Samson, R.A., E.S. Hoekstra and C.A.N. Van Oorschot. 1995.
Introduction To Food-Borne Fungi. Institute of The Royal
Netherlands Academic of Arts and Sciences.
Samsyuddin. 2003. Pengendalian Penyakit Terbawa Benih
(Seedborn Disease) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum)
Menggunakan Agen Biokontrol Dan Ekstrak Botani.
[cited 2012 December 15]. Available from : www.tumotou.
net/702_07134/samsyuddin.htm
Shim, Y. K. , S.P. Mlynarek, and E. Wijngaarden. 2009. Parental
Exposure to Pesticides and Childhood Brain Cancer: U.S.
Atlantic Coast Childhood Brain Cancer Study, Environmental
Health Perspectives 117(6).
Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendali Hayati Penyakit Tanaman.
Jakarta : Rajawali Press.
Subba rao, N.S. 2010. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan
Tanaman. Jakarta : Penerbit UI-Press.
Suhardi. 1993. Dinamika Populasi Busuk Daun, Phytophthora infestans
pada Kentang di Kebun Percobaan Segunung. Buletin
Penelitian Hortikultura 10(1) : 36-44.
Sutikno, S. 1992. Dasar-Dasar Pestisida dan Dampak Penggunaannya.
Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Warda. 2008. Hama dan Penyakit pada Tanaman Kentang di Kabupaten
Gowa Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Selawesi selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan
Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi
Selatan : 397-401.
Wharton, P., W. Kirk, D. Berry, and S. Snapp. 2007. Rhizoctonia
Stem Cancer and Black Scurf of Potato, Potato Disease. Michigan
State University Extention Bulletin. [cited 2012 June 29].
Availablefrom:http://www.potatodisease.org/pdf/rhizoctoniabulletin.
pdf.